|
Dokumentasi: Baliho Pameran Komunitas Garis Cakrawala 22 Maret 2014 di Galeri Cipta II, Jakarta. |
PANCAROBA
PANCAROBA :
Ikhtiar
Menunggu Musim
Hendra Himawan*
ancaroba, musim peralihan, atau
era transisi mempunyai pengertian yang sosiologis. Namun, peralihan dari apa ke
apa dan dalam konteks apa? Denyut seni rupa sebuah kota sangat ditentukan oleh
individu dan komunitas para pekerja seninya. Dan hari ini, seni rupa Solo
‘hidup’ setelah sekian masa dianggap senyap. Terlewati dari perbincangan seni,
sering kalah rampak dengan seni pertunjukannya. Apakah individu perupanya ikut
senyap, tidak!. Mereka terus bergerak mencari jalan untuk menggerakkan ruang
hidupnya.
Pancaroba Kota
Misi
Surakarta sebagai Kota Budaya dengan arus modernisasinya yang deras,
menghadirkan tegangan tersendiri ketika keduanya dihadap-hadapkan. Antara
spirit tradisional dan realita modernitas yang menuntut untuk dinegosiasikan.
Kebudayaan menjadi arena pertemuan keduanya, memaksa masyarakat bersiasat agar
keduanya menyatu, atau bahkan, me’negasi’ satu lainnya. Dampak tegangan ini pun
merasuk dalam wilayah-wilayah kesenian, khususnya seni rupa. Bukan dalam
persoalan esthetisme semata, ambiguitas konsep budaya kota ini merasuki pola
pikir para perupanya, yang berujung pada banyaknya individu yang menarik diri dari persoalan ini.
Ketakutan-ketakutan yang dibayangkan pun akhirnya muncul. Egoisme-egoisme
individu dan komunal yang berujung pada apatisme dan keputus-asaan akan seni
rupa kota Solo yang ‘stuck’, terlewati dari wacana-wacana besar seni rupa
Indonesia. Sudah sekian lama seni rupa
Surakarta mengalami masa Pancaroba!
Persoalan
ini yang menjadi pangkal kegelisahan Garis Cakrawala. Lima tahun tumbuh dan
bergerak, mereka menyisir simpul-simpul persoalan. Infrastruktur seni rupa yang
kurang dan cenderung lemah, pola pikir para perupa yang individual, senioritas
yang kental, kampus seni rupa yang jauh dari dialektika perkembangan seni,
institusi pemerintah yang abai, adalah sekian dari banyak hal membuat seni rupa
Surakarta terkesan dingin. Garis Cakrawala hadir menjadi ‘rumah kecil’ yang
diikhtiarkan untuk mampu menghangatkan para perupa yang berada di dalamnya.
Menumbuhkan semangat kolektivitas yang penuh keterbukaan, membangun dialektika
pemikiran, mengasah pemahaman estetik dan artistik, yang berujung pada
tawaran-tawaran gagasan akan perubahan dinamika seni rupa Surakarta. Sebuah
mimpi besar yang terus menerus diupayakan hingga hari ini.
‘PANCAROBA-PANCAROBA’
adalah jendela bagi rumah Garis Cakrawala untuk menengok apa yang terjadi di
luaran, melihat beragam persoalan untuk kemudian dikaji, direnungkan. Celah
untuk menumbuhkan sikap dan tawaran-tawaran bagi diri dan lingkungannya.
Pancaroba Komunitas
Komunitas
seni rupa di Surakarta jumlahnya sangat banyak, meski terbilang sporadis.
Komunitas atau kelompok yang memang bervisi dan bermimpi panjang, ataupun
sekedar kumpul-kumpul membuat project pameran dan bubar tanpa beban setelahnya.
Kebanyakan adalah kelompok-kelompok mahasiswa dari kampus-kampus seni rupa. Euforia
berkelompok memang sangat dominan di kota yang terkenal dengan HIK
(angkringan)-nya ini. Beberapa komunitas seni rupa yang masih aktif bergerak,
biasanya didukung oleh kawan-kawan perupa muda yang loyal, atau karena ikatan
pertemanan yang kuat, dan atau rasa ‘perkewuh’ pada senior.
Kecenderungan
yang ada, kegiatan pameran atau project seni menjadi satu-satunya tujuan tetap
bertahannya sebuah komunitas. Eksistensi diukur dari berapa kali
menyelenggarakan event, banyaknya apresiasi yang didapat, ramainya jumlah
pengunjung, syukur-syukur ada berkah materi. Orientasi pada produksi
pengetahuan, apresiasi kritis, bahkan visi konseptual yang berkesinambungan
masih kurang, dan cenderung abai. Banyak penyelenggaraan event terjebak pada
perayaan-perayaan, tawaran gagasan (bahkan kritik) masih seputar tampilan
visual, teknik presentasi, dan artistik. Visi-visi ideologis masih jarang
dihadirkan.
Banyaknya
komunitas seni rupa yang ada di Surakarta memang tumbuh secara natural karena kebutuhan
akan ikatan kolektif, berkumpul dan berteman. Hal ini wajar dan meski dimaklumi
karena kebutuhan akan ruang-ruang sharing dan ruang proses kreatif masih sangat
minim.
Timbul
tenggelamnya komunitas dan gesekan gesekan akan ruang komunitas yang terjadi akibat
lemahnya visi tidak membuat iklim berkesenian berubah signifikan. Kecenderungan
untuk asik bermain di wilayah sendiri menyebabkan dinamika seni rupa di
Surakarta malah terbelah-belah. Hal yang sama juga dialami dan dirasakan selama
Garis Cakrawala berdiri. Bongkar pasang personel, dialektika proses yang
mandeg, visi yang masih kabur, menumbuhkan refleksi untuk perubahan. Mengalami
jeda masa dan peralihan misi, ‘PANCAROBA PANCAROBA’ ini menjadi terapi
tersendiri bagi Garis Cakrawala. Dengan merangkul rekan rekan komunitas
lainnya, SAYAP (Surakarta Young Artist Project). Dengan turut sertanya
kawan-kawan muda, dengan kecenderungan karya yang segar dan bergaya popular.
Mereka membuka kemungkinan atas praktek praktek penciptaan komunal yang lebih beragam.
Pertemuan ini menurut saya menjadi penting untuk memhami siklus perkembangan
dan dinamika komunitas seni lain yang sama sama bergerak di kota Surakarta.
Perhelatan
kali ini juga menjadi satu titik balik bagi Garis Cakrawala menyusun ulang
ideologi mereka hari ini. Tidak mau meninggalkan jejak sejarah perjalanan seni rupa
di Surakarta, mereka mencona menggali spirit pergerakan komunitas-komunitas
yang lebih dulu tumbuh, melihat pergerakan yang telah dilakukan untuk
merumuskan gerakan taktis mereka ke depannya. Ikatan tradisi yang kental di
kota ini, menjadi jalan mereka untuk mengangkat nilai nilai dan spirit tradisi
sebagai bagian dari riset, kajian dan platform komunikasi ketika berhadapan
dengan publik seninya sendiri. Dan justru dengan iitu pula, Garis Cakrawala
mempunyai karakter dan warnanya tersendiri.
Menyayangi
masa lalu, dan terus belajar, menemukan cara cara baru untuk memahami hari ini,
dan selalu bergerak untuk masa depan. Menurut saya kalimat ini yang yang tepat untuk
menggambarkan spirit Garis Cakrawala saat ini.
Pancaroba Proses Individu
Pancaroba
dalam sebuah proses kreatif sangat penting bagi seorang perupa. Sebab proses
kreatif senantiasa bergerak, dinamis seiring dengan laju pengalaman dan pemahaman
pada jalur kesenian yang dipilih. Pancaroba adalah titik reflektif untuk menuju
percepatan-percepatan. Geliat seni rupa
kota yang lambat merayap, gerak komunitas yang mulai tumbuh rapat, tak ayal
menarik sebagian individu perupa muda Surakarta membangun koloninya. Dengan berkelompok-berkomunitas,
proses kreatif yang terpencil dan menyendiri di studio, buntu di jalur pikiran
boleh dibuka. Pengalaman estetik dapat dikaji-disharingkan bersama, sementara
wilayah artistik karya tentu mendapatkan celah kritik yang membangun. Pancaroba
dalam proses kreatif adalah masa peralihan dari stucknya pemikiran, kebuntuan
pemahaman, matinya kritik, dan ego idealisme yang terkadang konyol. Peralihan
dari proses personal ke komunal, dari ego ke toleransi, dari eksistensi buta
kepada visi gerakan kebudayaan. Peralihan seperti iniilah yang kemudian akan
menuntun kesadaran bagi para perupa untuk mengambil sikap-sikap yang lebih
bertanggungjawab atas jalan pilihan keseniannya.
Dalam
proses karya individu, hal inilah yang saya tangkap dari PANCAROBA PANCAROBA
yang digagas Garis Cakrawala. Beragam 'peralihan' yang terjadi di lingkungan
seni rupa dan kebudayaan dalam ranah : diri, komunitas, kota, hingga dimensi
sosial politik negara, menjadi pemicu
munculnya reaksi reaksi reflektif dalam diri perupa-perupanya.
Setiap
pergantian rejim penguasa, agenda politik yang diusung selalu berdampak pada
perubahan kebudayaan. Sebagaimana yang dilukiskan oleh Irul Hidayat dalam karya
‘Pancaroba Kepemimpinan’ (2014). Dalam karyanya ia hadirkan seluruh wajah
penguasa yang pernah memimpin negeri ini dengan beragam warna yang mampu
mewakili citra diri mereka (warna partai misalnya). Dengan karakter deformasi
garis yang tegas membentuk outline raut wajah, Irul menonjolkan karakter dan
kekuatan pemikiran penguasa yang mampu dirasakan bekas-bekasnya. Pancaroba
kebudayaan yang terjadi dari satu rejim ke rejim selanjutnya, dinegasinya
dengan menghadirkan figur muda perempuan yang tampak centil dan kenes. Dari
gambarnya tersirat bahwa sekencang apapun pergolakan politik yang diusung,
kebudayaan selalu dianak-tirikan. Abai! Padahal kebudayaan adalah pangkal dan
ujung dari setiap gerak pikir dan hidup manusia. Modernisasi, pop kultur, ulang-alik wacana
globalisasi (inferioritas global, dan puritanisme lokal), tak berfungsinya
tapis (filter) kebudayaan, mengakibatkan hilangnya kepercayaan akan apa itu
definisi ‘identitas’, ‘nasionalisme’, dan ‘bangsa?’
Kisah
yang sama juga diceritakan Sony Hendrawan dalam karyanya yang berjudul ‘Opera
Klasik’ (2014). Ia membuat imajinasi sendiri akan ketimpangan sosial yang
banyak dijumpai. Dunia yang sudah dibolak-balik, “sing ndhuwur mabur, sing ngisor ndlosor” (yang di atas semakin
terbang tinggi, yang dibawah semakin tiarap). Peralihan kekuasaan selalu
membawa dampak dimana seringkali ada nilai dan subjek subjek yang mesti dikorbankan.
Bagi yang menang ia akan mendapatkan hak dan kemerdekaan-berkuasa, sementara
yang kalah harus siap bernegosiasi dengan keterbatasan-keterbatasan. Di sekat
sistem penguasa, di rampas hak suaranya. Belum lagi soalan-soalan kehidupan
yang menjerat, sementara pemegang kendali negeri tenang mengayuh sauh nafsu
sendiri. Dan menurut Sony, hanya imajinasi-imajinasi akan negeri yang tenang
dan damai, yang akhirnya mampu dibeli
dan dihayati.
Dan
apa jadinya jikalau imajinasipun dilarang dan dibatasi? Menurut saya, Wahyu Eko
mampu menggambarkannya dengan apik, melalui karyanya ‘Bisik Bisik Sebaya’
(2014). Manusia hari ini tidak ubahnya robot, dikendalikan oleh ‘visible hand’,
dikuasai dan didominasi. Kita hari ini menjadi bagian dari sistem-sistem sosial
yang kita tidak mengetahui dari mana ia dikonstruksi dan disepakati. Hari ini
pola pikir kita dikondisikan oleh ruang, waktu, dan pemahaman kebanyakam. Hanya
‘commonsense’ yang pada akhirnya
menjadi tolak ukur kebenaran. Maka Bisik-bisik sebaya sangat menentukan siapa
diri dan identitas kita. Epigonik, hilangnya akal-budi, runtuhnya cita-cita
‘memanusiakan manusia’, itulah kritik-satire yang dilontarkannya.
Melalui
karya yang berjudul ‘Red Label (Possesive)’
(2014)Arisno Effendi melakukan refleksi atas pengalaman-pengalaman awam
manusia. Sikap-sikap emosional yang muncul akibat ego dan hilangnya kesadaran
sosial muncul dalam simbolisasi kucing merah dengan ornamentasi ruang penuh
warna. Kucing yang terkenal manja dan kenes
menjadi personifikasi atas tingkah polah manusia yang cenderung berpuas
hati dan sering cemburu dengan capaian-capaian baru yang dbuat oleh orang lain.
Karya ini kental dengan sindiran meski hadir dengan gaya naif. Kita sebagai
insan seni sering diuji dengan upaya-upaya mencari eksistensi diri namun
mengabaikan kondisi-kondisi sosial di sekitar kita. Apakah kita merasa cukup
dengan berdiri kenes dipanggung
kesenian, sementara kebudayaan kita pelan-pelan menuju keruntuhan?
Celakanya
memang matahari terbit sepanjang tahun diatas kepala kita. Tanah tropis yang
kaya akan alam dan budaya, menjadi incaran dan jajahan hingga hari ini.
Salahnya matahari yang menyebabkan tanah ini di serbu seluruh bangsa dari
penjuru dunia untuk membuat kontestasi peradaban masing-masing, sementara kita
hanya bisa diam, sesekali mencuri takjub dan mengangguk dengan kelapangan dada,
menerima. Tapi matahari memang tidak ingkar janji, dia memberi peringatan
ketika manusia melakukan kesalahan pada tanah yang disinarinya. Baik itu
kesalahan ekologis, merusak tatanan alam, sosiologi hancurnya tatanan pola
pikir dan kolektivitas masyarakat, rusaknya tatanan kultural dengan menipisnya
perhatian kita pada peradaban kebudayaan sendiri. Hal ini yang saya tangkap
dari karya Aan Sasmitra, ‘Phase The Sun’ (2014).
Mau
kemana kita berpaling? Barat atau Timur? Siapa Barat, Siapa Timur? Dimana
Barat, Dimana Timur? Celakanya tanah yang kita pijak berada di ‘tengah tengah.’
Kitalah medan pertemuan dan pertempuran budaya itu. sejak kolonial hingga
kontemporer, kita selalu dipaksa underestimate dengan diri kita sendiri.
Jangankan kebanggan, kepercayaan akan sejarah pun dengan mudah kita tepis
sendiri. Kita dirayu untuk menemu identitas, simbol, pola pikir dan peradaban
baru yang mixed, cenderung campur aduk semaunya, sementara akar tradisi semakin
tak tersentuh. Ketika dimunculkan yang ada hanyalah eksotika etnis, lokalitas
puritan, dan kebanggaan-kebanggan pada simbol tradisi yang abai esensi. Lantas
dimana dan mau apa kita? Inilah kegelisahan M. Syaifudin yang dituangkan dalam
karyanya ‘Sama-sama Tak Berujung’ (2014)
Runyamnya
negara ini menjadi keprihatinan Hendra Purnama. Melalui karyanya, ia lukiskan
dinding pelat seng yang penuh tambal sulam dan berkarat. Ia jadikan seng
sebagai bentuk keberpihakan atas kaum yang kalah, dipinggirkan dan dimiskinkan
diri dan pemikirannya oleh penguasa. Merajut tampalan-tampalan menjadi dinding
utuh agar kembali kuat, merajut kembali nusantara yang telah koyak, penuh karat
akibat ulah kita, empu-nya yang sering abai dan tak peduli. Berupaya memupus
keputusasaan dan menanam benih kepercayaan, bahwa dalam kondisi apapun,
masyarakat masih mampu untuk bertahan.
Karya
Rejo Arianto yang berjudul ‘Pancaroba Symphoni Cinta’ (2014), menggambarkan dua
figur manusia yang berlapis-lapis soalan hidupnya. Menggunakan pendekatan
realistik dalam gaya lukisan naif, ia menggambarkan sosok laki-laki dan
perempuan yang menggendong anak-anaknya. Melihat lukisan ini kita diingatkan
atas kisah cerita keluarga Man Brayut yang mempunyai banyak anak, dan munculnya
filosofi ‘banyak anak banyak rejeki’ dikalangan masyarakat tradisi Jawa. Upaya
drama satir coba dihadirkan Arianto dengan meletakkan payung digenggaman tangan
sang lelaki, seolah bersetia untuk melindungi anak dan istrinya dari beragam
persoalan yang datang. Kesederhanaan, kesetiaan dan kebersahajaan dalam
memandang dinamika peristiwa kehidupan tertangkap jelas dalam karya ini.
Hilangnya
nilai spiritualitas dalam kebudayaan pop digambarkan Indra Kamesywara dalam
karyanya. Kesendirian, kesunyian, tergambar dari sosok figur menyerupai manusia
berkepala burung. Simbol-simbol seperti babi terpotong, ekor ikan yang
terpotong-potong menjadi presentasi akan nilai-nilai kemanusiaan yang sudah
tersekat. Terbelah oleh keadaan dan wacana-wacana bohong yang abai esensi.
Menggunakan pendekatann gaya lukisan pop surealisme, Indra mengajak kita untuk
merefleksikan setiap teks visual maupun judul yang sangat agitatif,
‘U.NG.O.D.L.E.S.S.’ (2014).
Menggunakan
pendekatan gaya-gaya personal yang cenderung pop, kelompok SAYAP menguak memory
perjalanan masing-masing perupanya melalui karya-karya koper yang bergambar.
Masing masing membuat ‘museum ingatan’ atas peristiwa, kenangan, hingga
objek-objek visual yang sangat personal, berkaitan dengan diri mereka
sendiri. ‘Koper’ menjadi simbol
pengingat akan peralihan pengalaman, pemikiran, dan kedewasaan mereka bersikap
dalam dunia kesenian yang masih pendek mereka tempuh.
Sebutlah
seperti Chiz yang menjadikan koper sebagai monumen koleksi akan hobbies dan
kesukaannya pada corak kartun, dan tema-tema Piratez. Visualitas pop
dimaknainya sebagai manifestasi kegembiraan, kesukaan yang tanpa pretensi beban
esensi, namun menyiratkan proses dinamika pola pikirnya. Sama halnya koper
karya Rofiq Syafrudin yang mengangkat spirit personal dalam karyanya. Simbol universal ‘Rose’, menjadi penanda kisah dan pengalaman
hidupnya. Filosofi kesetiaan dan penjagaan menjadi pengingat yang dikenangnya
dalam kopernya.
David
Krebonson mengolah koper sebagai ingatan akan memori gelap : pembunuhan keji
dan mutilasi yang sering dilihatnya di kotak televisi. Mengolah realita keji
dengan bahasa popular, mengasah kemanusiaan kita secara lembut, tanpa mengurai
rasa satire yang dalam. Seperti halnya karya
Hery Acin Dwi Mulyono yang mengangkat tajuk perang dan kekerasan sebagai
senjata untuk berkuasa di dunia. Imajinasinya andaikan dunia tanpa tentara,
sebuah dunia dimana manusia satu dan lainnya saling melindungi.
Budaya
simbol, pemujaan atas logo, penyembahan atas label dan ikon ikon popular
menjadi kritik dalam karya koper Fuzan Abu Salam dan Aeseka Ms. Orang sekarang
yang cenderung melihat pada presentasi bukan fungsi apalagi esensi. Hilangnya
pemahaman akan nilai-nilai spiritual keseharian dalam setiap produk kebudayaan,
memposisikan kita sebagai korban secara terus menerus. Produk konsumerisme
telah menjadi pusat dari kebudayaan, sesuatu yang harusnya diisi oleh manusia
kini diganti benda-benda mati, dan simbol simbol tak berarti. Dan ketika hal in
iterjadi, Tuhan sudah Dianggap Mati sebagaimana yang diungkapkan oleh Indra
Kamesywara dalam karya kopernya. Mereka sudah tidak tahu lagi siapa yang harus
di dahulukan dalam kehidupan. Trend-style sama sucinya dengan agama, konsumsi
adalah jalan peribadatan dan eksistensi diri
adalah surga-neraka.
Hadirnya
perupa-perupa muda SAYAP ini menurut saya menjadi satu potensi yang menarik
bahwa ada sharing dan presentasi karya yang dialogis, yang memberikan
kesempatan bagi siapapun yang melihat karya mereka mengapresiasi cara pandang
dan dialektika mereka sebagai anak muda yang dekat dengan budaya populernya.
Menunggu musim, Menjadi Pancaroba
Sebuah
peralihan memberikan jeda waktu yang berujung pada sikap penantian, menunggu. Sebuah
penantian yang memunculkan pengharapan, bayangan akan perbaikan dari kondisi
hari ini. Sebuah ruang tunggu yang hidup dan penuh pergerakan. Dengan dinamika
ruang lingkup yang terus bergerak dan berdialektika. Dimana dalam masa-masa
ini, adalah tepat untuk kembali merumuskan strategi-strategi secara takstis,
dan terus menerus mengevaluasi diri. Terus membuka pikiran atas segenap kemungkinan
yang bermunculan, dan terus menumbuhkan semangat dialog, sharing untuk membuka
wawasan dan sikap-skap kritis pada diri sendiri ataupun dunia seni rupa yang
lebh luas. Maka dengan itu, menurut saya lebih baik Garis Cakrawala tetap dalam
masa pancaroba terus menerus. Menjadi koma demi koma, sejenak menjadi tanda
seru, dan jangan pernah menjadi titik!!:-)
|
Dokumentasi: Kami dan saudara kami dari IKJ Jakarta |