DALAM KONTEKS POSMODERN
Dok. google postmodern genre |
“Sejarah seni Posmodernisme” dalam
definisinya memiliki dimensi positif dan negatif, dalam permasalahannya sering
juga disalah artikan sebagai budaya kontemporer sebagian besar kerancuan
penggunaan istilah posmodernisme disebabkan penggabungan konsep kultural dan
posmodernitas sebagai penanda periode atau kondisi sosial dan filosofis
tertentu. Menurut Linda Hutcheon Posmodernisme memanifestasikan diri dalam
pelbagai upaya kultural dan pernyataan diri
(self- conscious) mengambil
bentuk pernyataan yang sadar diri, (self-contradictory)
berkontradiksi dengan diri sendiri, dan (self-undermining)
menghancurkan diri sendiri.
Seni posmodern
merefleksikan diri dalam bentuk parodi, menggaris bawahi dengan cara yang
ironis kesadaran. Vattimo dan Lyotard berbicara tentang kemampuan intelektual dan
beberapa gejala yang terjadi antara seniman dan kritikus posmodern yang
berbicara tentang wacana yang menunjukan konteks bicara dan kerja tidak bersifat
politis. (Sekula 1982 : 84), wacana menunjuk pada hal – hal yang secara politis
tidak murni seperti harapan pada kesamaan makna dan hal tersebut terjadi di
dalam konteks sosial dinamis yang harus dilihat eksperimentasi estetik posmodern memiliki dimensi yang
tidak dapat direduksi (Wellbery 1985: 235). Dibalik proses kultural posmodern
adalah posisi teoritis yang tampaknya menegaskan bahwa kita hanya dapat
memahami dunia melalui “jaringan sistem
makna yang terbentuk secara sosial, wacana kebudayaan kita” (Russell 1980: 183). Konsentrasi pada dua bentuk
seniyang secara sadar mengedepankan kesadaran tentang sifat diskursif dan
menandakan pengetahuan kultural dan keduanya mewujudkan tentang transparansi
representasi yang diandaikan. Kembalinya bagian dari posmodern adanya figur –
figur yang merealisasi dalam seni rupa yang memiliki pengaruh penting untuk
setiap kemajuannya.
Banyak karya terpengaruh
membahas posisi budaya populer dan
interaksi antara keduanya untuk menunjukkan bahwa penerobosan batas – batas semacam
itu tidak selalu berarti penghancuran semua tatanan atau devaluasi intrisik
semua gagasan yang diterima, seperti kata Charles Newman, “meningkatnya dehumanisasi kehidupan yang masih ada kecenderungan untuk
melihat bentuk seni etnis, lokal, atau
secara umum populer sebagai bentuk subkultural” (Foster 1985: 25). Banyak
karya seni secara terang –terangan betentangan dengan konsep representasi
realis ayang mengasumsikan transparansi medium. Pemikiran era posmodern tidak
terintegrasi dan definisi semua pada intinya memiliki pusat yang kosong (Gablik
1984: 17), akan tetapi pusat tersebut tidak sekosong itu sampai dipertanyakan.
PRESENTASI SENI POSMODERN
Perkembangan
Posmodern membawa seni yang berunsur popular seperti salah satu karya maestro Andi
Warhol yang berjudul “Two Queen“,
yang menampilkan citra – citra Marilyn Monroe dan figur ratu Elishabeth II
dalam bentuk foto, dibuat di kertas koran yang sudah terlihat lusuh.
Kombinasi
ini menyiratkan ironi yang khas masyarakat Kanada, yang ditujukan pada
kolonialisasi ganda, yaitu kolonialisasi
historis (Kerajaan Inggris), dan
kolonialisasi zaman sekarang (Media
Amerika). Banyak karya seniman era posmodern yang bermunculan menggunakan
metode dalam mengangkat persoalan dunia politik dan sosial yang menyikapi dari
dalam wacana wilayah representasi kultural yang lebih luas dan mencermati keadaan
negara yang saat itu terjadi konflik perang dingin didataran Eropa, adapun
kecenderungan dari budaya populer yang menggambarkan dan menceritakan kondisi
pikiran yang merupakan produk langsung hidup di Dunia yang umum. (Dalam Clarkson 1987-8 :14 ).
Dok. google, Two opposising images of Queen Elizabeth II |
Ciri umum tantangan
posmodern membawa eksploitasi kekuatan dan ketergantungannya pada pengetahuan
penonton tentang ciri khas pada kebanyakan kasus, ketergantungan itu tidak
selalu meminggirkan kaum elit, karena biasanya menjadi bagian kosakata dalam
sebuah pemberitaan di surat kabar. Kebanyakan Seniman mengeksplorasi dan merangkum karyanya di
Televisi dan iklan – iklan komersil. Perkembangan seni lukis posmodern penuh
dengan sarat teori agar bisa memberikan wawasan lebih pada publik penikmat seni
dan harus memunculkan persoalan eksklusivitas. Karya seni posmodern juga
mendenaturalisasi citra – citra yang menyingkap mekanisme tersembunyi yang
membuatnya tampak transparan agar pesan yang ingin disampaikan oleh seniman
dapat tersampaikan terhadap konsumen seni, tidak hanya mengandai – andai atau
menerka pesan apa yang ingin disampaikan selain mempertimbangkan dari segi
estetik.
Karya seni
posmodern sering kali tampak terbuka dengan representasi politik, bahkan kritik
materialis pada pandangan otoritas seni modern tentang pemisahan elemen politik
dan elemen estetik dan netralitas galeri seni atau museum dari setiap kemungkinan konsep seni ssebagai
resistensi, meskipun tidak radikal revolusi.
Salah satu karya Instalasi Barbara Kruger yang menggunakan layar lenticular
dengan dua citra yang berbeda tergantung dari posisi penikmat seni melihat.
Menurut Kruger, karyanya mengangkat persoalan literalisasi dan materialisasi
konsep posisi tubuh dalam ideologi. Karya Lukis Durer yang berjudul “Would you rent a room for this Woman ?” menggambarkan figur seorang ibu
yang renta, mencari tempat singgah untuk istirahat yang pada sekitar tahun
1980-an di Inggris terjadi Kesenjangan Sosial, sehingga terjadi minimnya
perumahan untuk kaum lansia.
Para seniman
posmodern kebanyakan yang selalu dibahas dimuka adalah berinteraksi dengan
sistem sosial masa kini dan masa lalu yang memiliki representasi politik dan
sejarah. New Art History ( Sejarah Seni Baru ) menunjukan persoalan gender, kelas, ras, etnisitas, dan orientasi seksual merupakan bagian wacana seni visual, mengingat
bahwa modernisme terlebih dahulu mempersoalkan konvensi apa yang dapat di
ceritakan dan mengeksplorasi batas – batas kemampuan narasi. Kebudayaan
posmodern secara umum menjadikan benar – benar baru yang menciptakan situasi
dimana harus mengkonsumsi narasi yang terus – menerus dari pola hubungan sosial
individu di masyarakat (Heath 1982 : 85).
Tom Crick merupakan
representasi alegoris sejarahwan posmodern, beliau berpandangan tentang sifat
dan status representasi narasidalam wacana historis berkoinsidensi dengan tantangan yang diajukan
metafiksi historigrafis, namun secara umum hasil karya – karya posmodern
dianggap fiksi dan dicela sebagai karya dehistorisasi bukan ahistoris. Salah
satu konsekuensi hasrat posmodern untuk mendenaturalisasi sejarah adalah
kesadran diri tentang perbedaan antara peristiwa kasar (brute events) masa lalu dan fakta historis yang kita konstruksi
darinya. Fiksi posmodern terkadang sering mentematisasi proses pungubahan
peristiwa menjadi fakta melalui penyaringan dan penafsiran dokumen. Dalam
metafiksi histografis, proses pengubahan peristiwa menjadi fakta melalui
penafsiran bukti dokumenter ditunjukan sebagai bukti proses pengubahan jejak – jejak masa lalu menjadi
representasi historis. Fiksi posmodern menggarisbawahi kesadaran bahwa “masa lalu bukanlah ’sesuatu’dalam pengertian
entisitas yang ter objektivasi yang direpresentasikan secara netral dalam dan
untuk dirinya sendiri atau secara proyektif diproses ulang dari sudut pandang
kepentingan sendiri yang cenderung pada masa kini”. (narrowly “presentist”) (LaCapra 1987: 10).
Beberapa hasil
karya seni di era posmodern yang terlihat semuanya menyakut dengan kisah –
kisah fiksi di kehidupan, karena dalam perkembangannya yang marak adalah dunia
seni peran atau teater, sehingga kebanyakan karya seninya rekayasa dari
teatrikal,namun oleh seniman modern kemudian diangkat dalam karya yang dapat
menjadi sesuatu yang humanistik dan merupakan perkembangan kehidupan sehari –
hari. Dari sudut pandang karya mutakhir di pelbagai wilayah teoritis, bagian
yang berperan utama adalah struktur buatan manusia, bukan sesuatu yang alamiah.
Pandangan narasi yang banyak menjadi persoalan teori – teori mutakhir bukanlah
sesuatu yang baru, hanya mendapat makna baru, dan pandangan – pandangan yang
mulai terbuka (respon) tentang globalisasi. Sedangkan kalau kita mengamati dari
sudut pandang yang sangat umum, pemersoalan posmodern pada dorongan totalisasi
ini berakar pada sebentuk kebutuhan (karya
seni disini berperan sebagai alat
kebutuhan semata, bukan naluri yang benar – benar memahami arti dan fungsi
karya tersebut).
Beberapa poin
ajaran posmodern bertumpu pada nilai penting konteks yang mudah di pahami,
situasi diskursif, dalam bertindak narativisasi, baik fiksi maupun
historiografi (Linda Hutcheon). Salah
satu kontradiksi representasi yang belum terpecahkan dalam fiksi posmodern
adalah hubungan antara masa lalu dan masa kini. Dalam The Book of Daniel, membahas persoalan seorang tokoh revolusioner
1960-an, Arti Sternlicht, menolak masa lalu atas nama masa kini dan masa depan.
Hubungan antara masa lalu dan masa kini menyita perhatian historiografi.
Masa lalu yang
dimaksud disini masa lalu penuh dengan kebingungan yang menjadi kepingan – kepingan pengalaman
itu menjadi pengetahuan. Bagaimana masa kini dapat mengetahui masa lalu yang diceritakan?
Kita tidak pernah berhenti menceritakan masa lalu, tapi syarat dari sebuah
pengetahuan kita harus kembali mengingat masa lalu (flashback) sebagai rangkuman yang bernilai. Pandangan yang
menyatakan bahwa, senyata apapun independensi masa lalu itu, ada untuk kita
saat ini sekedar sebagai jejak pada masa kini. Masa lalu yang tidak hadir hanya
disimpulkan dari kesimpulan fakta – fakta yang telah diketahui tetapi sulit
dijelaskan dengan cara yang lain.
Tegangan yang
diciptakan kesadaran ini, bahwa kita hanya dapat memahami masa lalu melalui
masa kini tidak mengendurkan seniman posmodern untuk terus berusaha menghindar
dari pencairan tegangan. “Kita harus
menghentikan kebiasaan menyamaratakan struktur sosial periode masa lalu yang
berbeda – beda dan melucuti perbedaanya sehingga menjadi kurang lebih mirip
dengan struktur sosial zaman kita sendiri, yang dari proses itu kita
mendapatkan perasaan tertentu bahwa kita telah mengenal semuanya, dengan kata
lain kepermanennan yang murni dan sederhana. Sebagai pengganti, kita harus
membiarkan tanda – tanda pembedanya tetap ada di sana dan mempertahankan
ketidak permanennan,sehingga periode kita sendiri dapat dilihat sebagai tidak permanen”. (Brecht 1964:
190).
PENGARUH
POSMODERN DALAM SENI RUPA DI INDONESIA
Pengetahuan membuka lebar cakrawala perkembangan seni
rupa Indonesia, digambarkan oleh Pramoedya Ananta Toer , lewat sosok fiktif
yang ambivalen, Minke, dalam roman masyhur karangannya, Bumi Manusia : “Salah satu hasil ilmu-pengetahuan yang tak
habis-habisnya kukagumi adalah percetakan, terutama zincografi. Coba,
orang sudah dapat memperbanyak potret berpuluh ribu lembar dalam sehari. Gambar
pemandangan, orang besar dan penting, mesin baru, gedung-gedung pencakar langit
Amerika, semua dan dari seluruh dunia – kini dapat aku saksikan sendiri dari
lembaran-lembaran kertas cetak “ .
Penafsiran
dan artikulasi pengetahuan kolonial menciptakan bayangan sebagian pribumi untuk
menjadi sebuah bangsa yang mandiri, lepas dari kolonialisme. Tentunya didukung
oleh kondisi sosial-ekonomi dan kebijakan Hindia-Belanda pada saat itu, yang
tengah merekah menjadi permata di khatulistiwa. Kapitalisme cetak yang pesat
juga membentuk “museum – museum tanpa dinding” dimana para pemuda terdidik
dengan khidmat memperhatikan citra – citra dari barat dan mengagumi seni rupa
modernnya. Informasi tercetak inilah salah satu faktor utama penularan estetika
barat ke dalam kehidupan intelektual masyarakat pribumi terdidik.
Perbincangan
seputar identitas ke - Indonesia -an
dalam wacana kesenian, khususnya dalam bidang seni rupa bergulir mulai tahun
1930-an hingga awal 1970-an. Terutama ketika kemunculan PERSAGI (Persatuan Ahli
Gambar Indonesia ),
sebagai lembaga yang menaungi para seniman yang mendukung gerakan nasionalisme.
Dengan menunjuk S. Soedjojono sebagai juru
bicara, mengeluarkan manifesto tentang kepentingan mencari jati diri dalam seni
lukis. Karya – karya generasi ini banyak mengetengahkan realita perjuangan
untuk upaya membebaskan diri dari penjajahan. Dengan mengapropriasi corak –
corak modern Eropa seperti ekspresionisme macam Vincent Van Gogh, atau corak
lukisan Goya atau Monet.
Tetapi
memang Soedjojono, dan golongannya, mampu menyisipkan nilai – nilai unik yang
khas dalam karya-karya mereka. Perwujudan nilai lokal, “jiwa khetok”, yang mengandung semangat nasionalisme. Sehingga klaim
sebagai seni lukis modern juga merupakan perwujudan manifestasi politik
identitas, sekaligus bentuk apropriasi politik terhadap seni modern
barat. Maka ketika kemudian di dekade 1950-an, anak-anak muda, murid seorang
guru gambar Belanda, Reis Mulder dari Bandung, mengadakan pameran yang
menyajikan karya akademis, bercorak abstraksi, kubistik, dan lainnya. Membawa
reaksi keras dari para tokoh PERSAGI dan pendukungnya. Trisno Sumardjo,
kritikus ternama kala itu, khawatir bahwa akademi dengan metode yang
diajarkan orang Belanda di Indonesia, bisa menghilangkan dimensi jati-diri
suatu bangsa. Dengan kanonnya, yang menganggap sekolah seni di Bandung sebagai pengabdi
dan laboratorium Eropa. Melalui estetik yang meminjam dari corak lukisan modern
Barat. Perdebatan ini pula yang memulai adanya wacana pendidikan tinggi
seni rupa di Indonesia ,
selain juga melanjutkan sengkarut perdebatan identitas seni lukis Indonesia .
Dalam
seni rupa kontemporer , di wilayah Asia , dalam
dekade terakhir begitu menguat terutama tercermin dalam penjelajahan visual
para perupa muda, terutama di tahun 1990-an hingga kini. Di Indonesia khusunya,
perayaan memasuki budaya visual banyak di sambut oleh kalangan muda. Mereka
begitu khidmat menyelusup ke dalam dunia imaji virtual maupun dalam keseharian.
Mulai dari imaji yang ikonik maupun yang biasa. Dari yang kanonik maupun yang
tersembunyi. Imaji yang luhung seperti dalam sejarah seni rupa maupun populer,
serta rendahan atau kitsch. Pameran “ Dalam Apropriasi” berkesempatan
untuk meninjau lebih lanjut praktek seni rupa saat ini, terutama dari para
perupa yang sejak awal tertarik dengan persoalan dunia imaji “sang lain”
sebagai konstruksi atau landasan keberangkatan gagasan, alih-alih inspirasi,
untuk menciptakan karya-karyanya, maupun perkembangan kreatifitas artistiknya.
Merayakan Citra Praktek seni rupa kontemporer menunjukan
bahwa ranah teknologis, technoscape atau mediascape telah mengkonstruksi
pandangan baru bagi para seniman untuk memahami dunianya, bukan hanya eksternal
tetapi juga secara internal, mencoba menjelajahi, menggali, serta menemukan
nilai-nilai berbeda. Memancarkan
hasrat besar untuk menjelajahi dunia imaji bagi para seniman. Walaupun itu
harus meminggirkan dan menyisihkan apa yang disebut identitas dalam pengertian
yang konservatif. Namun tidak serta-merta melenyapkan hasrat kepribadiannya,
alih-alih terjadi juga upaya pencarian jati diri dalam era globalisasi yang
menyertakan strategi budaya lokal (atau kita juga terbiasa mendengar jargon G lokal).
Strategi
apropriasi menjadi fenomena utama praktek seni rupa kontemporer, bukan hanya di
Amerika Utara tahun 60-an tetapi juga kemudian merambah diwilayah perkembangan
di Asia termasuk di Indonesia .
Didaratan China ,
perkembangan strategi artistik dengan apropriasi sudah umum dan radikal,
sehingga menimbulkan kekaguman para pengamat dan pencinta seni di Barat. Di
Indonesia dan mungkin di negara berkembang lain, gajala seni rupa apropriasi
menuntut para seniman, dan pengamat untuk lebih sadar akan sejarah seni rupa
modern Barat, dan sekaligus tajam terhadap pengamatan sosial-budaya lokal.
Praktek seni dengan strategi apropriasi yang dihadirkan dalam pameran ini,
diharapkan mengarahkan kita pada cakrawala yang lebih lebar, dan penuh
kesemrawutan nilai global – lokal dengan suasana yang bernuansa parodi, ironis
dan penuh kejutan –kejutan kasat mata. Sehingga godaan untuk mengalihkan dari
makna inti dibaliknya begitu besar.
Posmodern lebih
jauh menekankan ketegangan itu yang ada, disatu sisi, antara masa lalu dan
ketidakhadiran masa lalu serta kekinian (kontemporer) antara peristiwa aktual
masa lalu dan tindak pemprosesan peristiwa itu menjadi fakta oleh para
sejarahwan. Seni yang berkembang pada era posmodern sering disebut juga seni
parodi,sering juga disebut kutipan ironis, pastiche, daur ulang, atau
intertekstualitas biasanya dianggap sentral. Bagi para seniman, posmodern
dikatakan pendobrak atau perusak alur citra masa lalu dengan cara yang
sedemikian rupa sehingga memperlihatkan sejarah representasi diparodikan.
Menurut pandangan Abigail Solomon Godeau (1984),”Siap dibuat-nya kubu modernis dunchamp telah menjadi posmodernisme”.
Perulangan parodis masa lalu seni tidak bersifat nostalgis, tapi selalu kritis.
Selain itu, perulangan ini tidak bersifat ahistoris atau mendehistorisasi:
tidak mencerabut seni masa lalu dari konteks historis orisinilitasnya dan
menata ulang dari sudut pandang masa kini. Proses penggandaan atau reproduksi
terhadap karya seni terdahulu yang dibangun dan mengironikan, parodi justru
memperlihatkan bagaimana representasi masa kini berasal dan representasi masa
lalu dan konsekuensi ideologis yang dihasilkan, baik dari kontinuitas maupun
perbedaan.
Parodi posmodern
juga menggugat asumsi humanis kita tentang orisinalitas dan keunikan artistik
serta konsep kepemilikan dan hak kapitalis kita. Melalui parodi atau bentuk
repro karya seni yang telah dibuat tahun sebelumnya kemudian diolah kembali pada
jaman sekarang, memiliki orisinal dalam hal yang langka, tunggal, dan berharga
(dari sudut estetik maupun bisnis). Dalam kenyataannya karya seni
tidak akan kehilangan makna dan tujuannya, tapi akan mendapatkan suatu
pandangan yang baru dan signifikasi yang berbeda, dengan kata lain parodi
berperan mengangkat representasi karya seni baru. Pandangan umum mengenai karya
seni parodi posmodern adalah bentuk kutipan masa lalu yang bebas nilai,
dekoratif, dan terdehistorisasi. Penafsiran ini mengajukan pendapat bahwa parodi posmodern merupakan bentuk
pengakuan sejarah melalui ironi yang mempersoalkan dan mendenaturalisasi nilai.
Banyak pengamat
seni posmodern beranggapan istilah “parodi”
yang digunakan, merupakan pengaruh konsep jenaka (wit) dan ridicule abad
ke-18. Dalam definisi parodi sendiri perlu ditekankan bahwa kitatidak boleh
membatasi diri dari periode waktu yang sempit pada bentuk seni abad 21. Parodi memiliki
ruang lingkup bentuk dan maksud yang luas, mulai dari ridicule yang cerdas,
absurd sampai ridicule yang sangat terhormat. Para
kritikus seni, termasuk Jameson berpendapat kutipan ironis posmodern sebagai pastiche
atau parodi kosong. Mereka mengatakan bahwa hanya gaya yang unik yang
dapat diparodikan dan bahwa kebaruan dan individualitas semacam itu mustahil
pada zaman sekarang. Menurut pandangan parodis dan individual Salman Rushdie
dan Angela Carter, pendapat tersebut sulit untuk dipertahankan, bahkan sangat
mungkin untuk dibaikan bila terbukti tidak memiliki banyak pengikut yang
berpengaruh.
Pastiche dikatakan sebagai stempel resmi
posmodernisme neokonservatif (Foster 1985), karena dianggap mengabaikan
konteks dan kontinuitas dengan masa lalu serta secara keliru mencairkan bentuk
seni dan mode produksi konfliktual. Menurut Linda Hutcheon, parodi posmodern
tidak mengabaikan konteks representasi masa lalu yang dikutip, tetapi
menggunakan ironi untuk mengakui fakta bahwa secara tidak terelakan kita
terpisah dari masa lalu karena waktu dan kelanjutan sejarah representatif,
disamping kontinuitas terdapat juga perbedaan ironis yang disebabkan oleh
histori itu sendiri. Parodi posmodern merupakan semacam revisi atau pembacaan
ulang yang mempersoalkan kekuatan dan sekaligus meruntuhkan kekuatan
representasi sejarah. Keyakinan paradoks tentang keterpencilan masa lalu dan
kebutuhan untuk menghadapinya di masa sekarang disebut sebagai dorongan alegoris posmodernisme, Owens
(1980) menyebutnya parodi.
Catatan sejarah resmi
dicantumkan pada bagian awal lukisan abad ke-19 karya Henry Wallis, yang
menggambarkan kematian Thomas Chatterton seorang penyair dan Plagiat karya seni
abad ke-18 yang terkena penyakit kelamin Veneral
Disease, dimana lukisan itu digambarkan secara parodis komplek, dengan
figur Wajah Chatterton yang terlihat banyak keriput tetapi tubuhnya digambarkan
anak berumur 18 tahun. Dari lukisan tersebut, obsesi fiksi muncul dengan karya
lukis Wallis yang melukiskan Meredith atas kematian Chatterton dengan identifikasi
diri terhadap obsesinya bahwa Chatterton melihat kematiannya sendiri yang
sekarat dalam lukisan Wallis.
Lukisan parodis Mark
Tansey yang berjudul “ The Innocent Eye
Test “ mengambil bentuk representatif kanonik lain. Lukisan itu
menggambarkan pembukaan selubung lukisan Young
Bull karya Paulus Potter pada 1647, yang dulu diakui sebagai paradigma seni
lukis realis, namun reproduksi Tansey secara parodis lukisan digambarkan
dinilai oleh seekor sapi, yang dianggap lebih mampu menilai realisme dunia sapi
(bullish)
dan lebih sesuai untuk menyimbolkan “Innocent
Eye” secara ironis, seperti yang dikatakan teori mimetik tentang
transparansi representasi. Lukisan tersebut adalah beberapa contoh parodi
ironis posmodern, yang menggunakan konvensi realisme untuk memunculkan
kompleksitas representasi. Parodi yang diterapkan kemunculan posmodern menjadi
mode dominan sejumlah besar seni modernis terutama dalam lukisan karya Picasso,
Manet, serta Magritte.
Parodi dalam seni
modern menegaskan konvensi dan sejarah sementara mengambil dari jarak keduanya.
Kontinuitas penggunaan parodi posmodernis dan modernis sebagai strategi daur
ulang masa lalu dapat ditemukan pada serangan kompromi yang sama pada konvensi
representasi, namun terjadi signifikan sementara posmodernisme ironis dan
parodis seperti yang dikatan sejumlah pengamat seni bahwa ironi posmodern
adalah ironi yang menolak dorongan penyelesaian (resolving urge) yang keduanya tidak dapat dilepaskan dari
komplisitas.
Asumsi modernis
yang tidak diakui tentang penyimpulan dan pengambilan jarak, otonomi artistik,
serta sifat apolitis representasi adalah hal – hal yang akan diungkap dan
didekonstruksi oleh posmodenrisme. Menurut Burgin (1986) “ Pretensi Independensi artistik modernis diruntuhkan penyingkapan sifat
produksi makna yang secara khusus “intertekstual”; kita tidak dapat lagi
mengasumsikan secara tidak problematis bahwa “seni”, ada “di luar” kompleksitas
praktek dan institusi representasional lain dalam kaitannya, terutama dewasa
ini dengan seni yang membentuk apa yang secara problematis
kita sebut “media massa”. Seni
posmodern selalu menggunakan parodi dan ironi untuk mengungkapkan dan
menyertakan sejarah senidan ingatan para penikmat seni dalam penilaian bentuk
dan isi estetik melalui pengkajian ulang seperti yang ditegaskan La Capra
(1987) “ Ironi dan parodi itu sendiri
bukanlah tanda yang jelas pelepasan ego transedental dan apolitis yang melayang
– layang di atas realitas historis atau tenggelam di tengah daya tarik aporia.
Tetapi penggunaan ironi dan parodi yang tertentu dapat memainkan peran, baik
dalam kritik ideologi maupun dalam antisipasi kebijakan di mana komitmen tidak
diabaikan tapi menyertai kemampuan untuk mendapatkan jarak kritis pada komitmen
dan hasrat terdalam”.
Kategori parodi ke
dalam wilayah pastiche yang ahistoris dan kosong, semuanya tidak ada dalam kebudayaan
kontemporer sekarang ini. Parodi posmodernisme pada dasarnya ironis dan kritis,
bukan nostalgis atau antiquarian ( berhubungan
dengan masa lalu ) dalam kaitannya dengan abad kuno. Parodi posmodern
mende-doksifikasi asumsi kita tentang representasi masa lalu, secara
dekontruktif dan secara konstruktif kreatif, secara paradoks membuat kita sadar
tentang batasan dan kekuatan representasi dalam medium apa pun. Pierre Menard
dunia seni dewasa ini, mengatakan alasannya mengapa parodi tidak terelakan bagi
posmodernisme. Menurut Levine (1987) “ Setiap
kata, citra, disewakan dan digadaikan. Kita tahu bahwa gambar adalah ruang di
mana berbagai macam citra, yang semunya tidak orisinal, saling bercampur dan
berbenturan. Gambar adalah jaringan kutipan yang diambil dari sekian banyak
pusat dan aspek kebudayaan, sedangkan pengamat adalah lembaran kertas di mana
semua kutipan yang menyusun gambar digoreskan tanpa ada yang terlewat”.
Strategi posmodern
juga sering digunakan oleh beberapa seniman feminis untuk menunjuk sejarah dan kekuatan sejarah representasi kultural,
sementara secara ironis mengkontekstualisasikan keduanya dengan cara yang
sedemikian rupasehingga mendekonstruksinya. Karya – karya seni yang diputarbalikan
dari arti atau makna itu sendiri seperti
salah satu karya fotographi yang menampilkan sosok seorang pria telanjang
terkapar lemah dan pasif dan sosok wanita tegap dengan memandang pada pria
tersebut, karya tersebu mendenaturalisasi ikonografi pembalikan gender, bahwa
wanita bisa sekuat pria, dan pria pun bisa selemah seorang wanita.
Kontekstualisasi
kritis yang sama dan daur ulang masa lalu serta praktik representasinya juga
dapat dilihat dalam seni visual, pameran Second
Sight di San Fransisco Museum of
Modern Art di mana Mark Tansey
memamerkan lukisan yang berjudul The
Triumph of the New York School,
parodi yang dimunculkan beragam merujuk pada sebuah buku termahsyur karya Irving Sandler, The Triumph of American Painting, namun
karya itu sendiri secara ironis mengharfiahkan judul tersebut anggota tentara
perancis ( yang dilukis mirip Picasso,
Duchamp, Apollinaire, dan Leger )
menyerahkan senjata – senjata kuno mereka pada tentara amerika yang secara
teknis lebih superior ( perwira yang
direpresentasi antara lain Jackson Pollock, Clement Greenberg, dan Barnett Newman). Keseluruhan komposisi Tansey adalah
parodi karya Velasquez, Surrender of Breda (1634), yang merepresentasikan sikap
ksatria yang spesifik dalam Thirty Years
War serta pengagungan seni yang lebih umum melalui perang. Secara ironis
semuanya dibalik dan ditempatkan pada konteks yang sepenuhnya berbeda.
Persoalan
aksesbilitas yang direpresentasikan atau komposisi yang diparodikan dalam fiksi
Parodis Posmodern. Akses penggunaan parodi dalam semua bentuk seni, memiliki
ancaman riil elitisme atau minimnya aksesbilitas. Komplisitas parodi posmodern
memiliki penegasan dan peruntuhan hal apa yang diparodikan dan berperan penting
untuk memahami kemampuan. Hal ini dapat diperjelas dengan seringnya frekuensi
daur ulang parodis citra pada media seni apa pun. Kita tidak perlu memahami
keseluruhan sejarah seni untuk memahami kritik representasi – representasi,
yang harus kita pahami sebagai ahli di bidang seni dapat mengetahui keadaan
sekitar kita atau peka terhadap
lingkungan yang sedang berkembang saat ini. Sejumlah seniman posmodern banyak
menggunakan parodi dalam karyanya untuk memulihkan kembali sejarah seni
adiluhung, untuk menyambungkan kembali strategi representasional masa kini
dengan strategi representsional masa lalu untuk mengkritik keduanya.
Pada titik – titik
historis tertentu, kutipan atau apa pun yang disebut parodi memungkinkan
terjadinya kekalahan alienasi, penyambungan kembali yang ditegaskan dengan
tradisi – tradisi kabur, namun peninggian masa lalu yang tidak dikenal atau
yang tidak terpakai akan menekankan pemisahan dengan masa lali yang paling
dekat (immediate past), keterpecahan
revolusioner dalam arus sejarah yang diandaikan, yang dimaksudkan untuk meruntuhkan
kredibilitas penjelasan – penjelasan historis dominan yang membela sudut
pandang para pecundang sejarah. Peninggian kutipan dapat menandakan, bukan
penghapusan diri, tapi ketetapan hati pencairan yang menguat atau
terkonsolidasi. ( Martha Rosler 1981 ). Parodi sejarah dapat memberikan cara
baru merepresentasikan para pecundang yang ditandakan sejarah “ kesuksesan
finansial dan artistik seni di Amerika pada 1930 yang sangat kontras dengan
lestarinya kemiskinan dan penderitaan”.
Parodi dalam seni posmodern
lebih dari sekedar tanda saling perhatian pada karya di antara para seniman dan
pada karya seni masa lalu. Parodi dapat sungguh – sungguh terlibat dengan nilai
yang ditegaskan dan sekaligus diruntuhkan, tetapi peruntuhan tetap berlangsung
representasi parodis posmodern berbeda dengan penggunaan ilusi. Posmodern
memiliki hubungan yang sama dengan masa lalu modernisnya, seperti yang dapat
dilihat pada arsitektur posmodern zaman sekarang, baik kesadaran yang penuh
penghormatan, meskipun problematis, pada kontinuitas kultural maupun kebutuhan
untuk menyesuaikan diri pada tuntunanformal dan kondisi sosial yang terus
berubah – ubah melalui penentangan ironis pada otoritas kontinuitas yang sama.
Dari sudut pandang ini, kesadaran posmoder lebih tidak radikal di bandingkan
kesadaran modernis, lebih kompromistis, secara ideologis lebih ambivalen atau
kontradiktif. Pada saat yang sama kesadaran posmodernitas mengeksploitasi dan
sekaligus meruntuhkan apa yang muncul sebelumnya, yaitu kasadaran modernis dan
realis tradisional.
Hubungan ideologis
dan subjektivitas adalah hal sentral dalam posmodernisme. Dewasa ini serangan
pada konsep humanis tentang individu yang kohern, kontinu, otonom ( yang secara paradoks juga memiliki esensi manusia universal tergeneralisasi yang
sama ) dari semua sisi, mulai dari filsafat post- strukturalis dan teori
sastra, Filsafat Marxis, Psikoanalisis Freud dan domain – domain lain. Kita
melihat bahwa fiksi dua bentuk, merupakan seni yang memiliki relevansi yang
tertentu dalam pemersoalan sifat dan formasi subjek tersebut. Modernis mengkaji
pemajuan pengalaman dalam diri di tengah – tengah fragmentasi, dengan kata lain
fokus modernisasi pada subjektivitas, masih berada dalam kerangka humanis
dominan, meskipun pencarian obsesifnya pada keseluruhan memperlihatkan titik
awal apa yang menjadi pemersoalan posmodern yang lebih radikal, serangan yang
dimunculkan kegandaan wacana posmodern, dengan kata lain posmodern bekerja,
baik menggarisbawahi maupun meruntuhkan kionsep subjek koheren dan mandiri
sebagai sumber makna dan tindakan.
KESIMPULAN
Persoalan
globalisasi yang semakin pelik di antara kita, di mana kehidupan nyata dan
kehidupan fiktif bercampur menjadi satu dengan kesadaran diri. Posmodern
sebagai era tingkat generasi manusia tidak lepas dari keutuhan humanis
modernis, bahkan selalu mengeksploitasinya, namun eksploitasi tersebut
dilakukan atas nama penentangan nilai dan keyakinan yang mendasari konstruksi
keutuhan dengan penekanan pada tindak konstruksi melalui representasi.
Posmodern menawarkan kepada publik yang sangat terbuka bagi kompleksitas
referensial parodi dari masa lalu, agar semua orang mengingat kembali kejadian
atau sejarah masa lalu yang menjadi ujung tombak kemajuan masa kini. Posmodern
memberikan khas terutama dibidang seni, karya – karya seni yang selalu
mengetengahkan kehidupan masa lalu yang menjadi sejarah diangkat kembali
menjadi topik pembicaraan dengan memberi kesan masa kini, penggabungan dua
kultur yang menjadikan kuatnya suatu personal manusia. Karya seni yang
memberikan citra sejarah akan tetapi mengangkat dunia kontemporer dengan parodi
dan ironi sebagai senjata para seniman posmodern.
Pembahasan posmodern sebagai pembahasan
berbagai persoalan masyarakat industrial moderen yang kemudian merambah pada
inti permasalahan yaitu ke dalam seni rupa. Dalam persoalan kali ini secara
tidak langsung pengaruhnya masuk dalam sisi individu seniman.
Karya tulis ini
saya buat bukan semata – mata dari kegelisahan saya akan tetapi melihat
perkembangan seni lukis sendiri yang sudah kehilangan identitasnya sebagai
karya yang adiluhung. Semoga makalah ini bisa menjadi penambah referensi
pemikiran terutama seni rupa yang berisi tentang pembahasan tentang mengapa
seni posmodern perlu diangkat dan apa saja yang menjadi persoalan representasi
dalam bentuk seni.
DAFTAR PUSTAKA
- Hutcheon, Linda.
2004. Politik Posmodernisme Linda Hutcheon, Jendela. Yogyakarta
- Adam, Ian, dan Helen Tiffin. 1990. Past
the Last Post : Theorizing Post Colonialism and Post Modernism, Calgary :
Calgary Press
- Barthes, Roland. 1973. Mythologies,
terjemahan Annette Lavers. Granada. London
- Silverman, Hugh J. 1990.
Postmodernism: Philosophy and the Arts, New York and London: Routledge
Tidak ada komentar:
Posting Komentar