Kamis, 09 Februari 2012

Wacana

DALAM KONTEKS POSMODERN


Dok. google postmodern genre
Sejarah seni Posmodernisme” dalam definisinya memiliki dimensi positif dan negatif, dalam permasalahannya sering juga disalah artikan sebagai budaya kontemporer sebagian besar kerancuan penggunaan istilah posmodernisme disebabkan penggabungan konsep kultural dan posmodernitas sebagai penanda periode atau kondisi sosial dan filosofis tertentu. Menurut Linda Hutcheon Posmodernisme memanifestasikan diri dalam pelbagai upaya kultural dan pernyataan diri  (self- conscious) mengambil bentuk pernyataan yang sadar diri, (self-contradictory) berkontradiksi dengan diri sendiri, dan (self-undermining) menghancurkan diri sendiri.

Seni posmodern merefleksikan diri dalam bentuk parodi, menggaris bawahi dengan cara yang ironis kesadaran. Vattimo dan Lyotard berbicara tentang kemampuan intelektual dan beberapa gejala yang terjadi antara seniman dan kritikus posmodern yang berbicara tentang wacana yang menunjukan konteks bicara dan kerja tidak bersifat politis. (Sekula 1982 : 84), wacana menunjuk pada hal – hal yang secara politis tidak murni seperti harapan pada kesamaan makna dan hal tersebut terjadi di dalam konteks sosial dinamis yang harus dilihat eksperimentasi estetik posmodern memiliki dimensi yang tidak dapat direduksi (Wellbery 1985: 235). Dibalik proses kultural posmodern adalah posisi teoritis yang tampaknya menegaskan bahwa kita hanya dapat memahami dunia melalui “jaringan sistem makna yang terbentuk secara sosial, wacana kebudayaan kita” (Russell 1980: 183). Konsentrasi pada dua bentuk seniyang secara sadar mengedepankan kesadaran tentang sifat diskursif dan menandakan pengetahuan kultural dan keduanya mewujudkan tentang transparansi representasi yang diandaikan. Kembalinya bagian dari posmodern adanya figur – figur yang merealisasi dalam seni rupa yang memiliki pengaruh penting untuk setiap kemajuannya.

Banyak karya terpengaruh membahas posisi budaya populer dan interaksi antara keduanya untuk menunjukkan bahwa penerobosan batas – batas semacam itu tidak selalu berarti penghancuran semua tatanan atau devaluasi intrisik semua gagasan yang diterima, seperti kata Charles Newman, “meningkatnya dehumanisasi kehidupan yang masih ada kecenderungan untuk melihat bentuk seni etnis, lokal, atau secara umum populer sebagai bentuk subkultural” (Foster 1985: 25). Banyak karya seni secara terang –terangan betentangan dengan konsep representasi realis ayang mengasumsikan transparansi medium. Pemikiran era posmodern tidak terintegrasi dan definisi semua pada intinya memiliki pusat yang kosong (Gablik 1984: 17), akan tetapi pusat tersebut tidak sekosong itu sampai dipertanyakan.

PRESENTASI SENI POSMODERN

Perkembangan Posmodern membawa seni yang berunsur popular seperti salah satu karya maestro Andi Warhol yang berjudul “Two Queen“, yang menampilkan citra – citra Marilyn Monroe dan figur ratu Elishabeth II dalam bentuk foto, dibuat di kertas koran yang sudah terlihat lusuh. 


Dok. google, Two opposising images of Queen Elizabeth II
Kombinasi ini menyiratkan ironi yang khas masyarakat Kanada, yang ditujukan pada kolonialisasi ganda, yaitu kolonialisasi historis (Kerajaan Inggris), dan kolonialisasi zaman sekarang (Media Amerika). Banyak karya seniman era posmodern yang bermunculan menggunakan metode dalam mengangkat persoalan dunia politik dan sosial yang menyikapi dari dalam wacana wilayah representasi kultural yang lebih luas dan mencermati keadaan negara yang saat itu terjadi konflik perang dingin didataran Eropa, adapun kecenderungan dari budaya populer yang menggambarkan dan menceritakan kondisi pikiran yang merupakan produk langsung hidup di Dunia yang umum. (Dalam Clarkson 1987-8 :14 ).

Ciri umum tantangan posmodern membawa eksploitasi kekuatan dan ketergantungannya pada pengetahuan penonton tentang ciri khas pada kebanyakan kasus, ketergantungan itu tidak selalu meminggirkan kaum elit, karena biasanya menjadi bagian kosakata dalam sebuah pemberitaan di surat kabar. Kebanyakan Seniman  mengeksplorasi dan merangkum karyanya di Televisi dan iklan – iklan komersil. Perkembangan seni lukis posmodern penuh dengan sarat teori agar bisa memberikan wawasan lebih pada publik penikmat seni dan harus memunculkan persoalan eksklusivitas. Karya seni posmodern juga mendenaturalisasi citra – citra yang menyingkap mekanisme tersembunyi yang membuatnya tampak transparan agar pesan yang ingin disampaikan oleh seniman dapat tersampaikan terhadap konsumen seni, tidak hanya mengandai – andai atau menerka pesan apa yang ingin disampaikan selain mempertimbangkan dari segi estetik.

Karya seni posmodern sering kali tampak terbuka dengan representasi politik, bahkan kritik materialis pada pandangan otoritas seni modern tentang pemisahan elemen politik dan elemen estetik dan netralitas galeri seni atau museum  dari setiap kemungkinan konsep seni ssebagai resistensi, meskipun tidak radikal revolusi. Salah satu karya Instalasi Barbara Kruger yang menggunakan layar lenticular dengan dua citra yang berbeda tergantung dari posisi penikmat seni melihat. Menurut Kruger, karyanya mengangkat persoalan literalisasi dan materialisasi konsep posisi tubuh dalam ideologi. Karya Lukis Durer yang berjudul “Would you rent a room for this Woman ?” menggambarkan figur seorang ibu yang renta, mencari tempat singgah untuk istirahat yang pada sekitar tahun 1980-an di Inggris terjadi Kesenjangan Sosial, sehingga terjadi minimnya perumahan untuk kaum lansia.

Para seniman posmodern kebanyakan yang selalu dibahas dimuka adalah berinteraksi dengan sistem sosial masa kini dan masa lalu yang memiliki representasi politik dan sejarah. New Art History ( Sejarah Seni Baru ) menunjukan persoalan gender, kelas, ras, etnisitas, dan orientasi seksual merupakan bagian wacana seni visual, mengingat bahwa modernisme terlebih dahulu mempersoalkan konvensi apa yang dapat di ceritakan dan mengeksplorasi batas – batas kemampuan narasi. Kebudayaan posmodern secara umum menjadikan benar – benar baru yang menciptakan situasi dimana harus mengkonsumsi narasi yang terus – menerus dari pola hubungan sosial individu di masyarakat (Heath 1982 : 85).

Tom Crick merupakan representasi alegoris sejarahwan posmodern, beliau berpandangan tentang sifat dan status representasi narasidalam wacana historis  berkoinsidensi dengan tantangan yang diajukan metafiksi historigrafis, namun secara umum hasil karya – karya posmodern dianggap fiksi dan dicela sebagai karya dehistorisasi bukan ahistoris. Salah satu konsekuensi hasrat posmodern untuk mendenaturalisasi sejarah adalah kesadran diri tentang perbedaan antara peristiwa kasar (brute events) masa lalu dan fakta historis yang kita konstruksi darinya. Fiksi posmodern terkadang sering mentematisasi proses pungubahan peristiwa menjadi fakta melalui penyaringan dan penafsiran dokumen. Dalam metafiksi histografis, proses pengubahan peristiwa menjadi fakta melalui penafsiran bukti dokumenter ditunjukan sebagai bukti proses  pengubahan jejak – jejak masa lalu menjadi representasi historis. Fiksi posmodern menggarisbawahi kesadaran bahwa “masa lalu bukanlah ’sesuatu’dalam pengertian entisitas yang ter objektivasi yang direpresentasikan secara netral dalam dan untuk dirinya sendiri atau secara proyektif diproses ulang dari sudut pandang kepentingan sendiri yang cenderung pada masa kini”. (narrowly “presentist”) (LaCapra 1987: 10).

Beberapa hasil karya seni di era posmodern yang terlihat semuanya menyakut dengan kisah – kisah fiksi di kehidupan, karena dalam perkembangannya yang marak adalah dunia seni peran atau teater, sehingga kebanyakan karya seninya rekayasa dari teatrikal,namun oleh seniman modern kemudian diangkat dalam karya yang dapat menjadi sesuatu yang humanistik dan merupakan perkembangan kehidupan sehari – hari. Dari sudut pandang karya mutakhir di pelbagai wilayah teoritis, bagian yang berperan utama adalah struktur buatan manusia, bukan sesuatu yang alamiah. Pandangan narasi yang banyak menjadi persoalan teori – teori mutakhir bukanlah sesuatu yang baru, hanya mendapat makna baru, dan pandangan – pandangan yang mulai terbuka (respon) tentang globalisasi. Sedangkan kalau kita mengamati dari sudut pandang yang sangat umum, pemersoalan posmodern pada dorongan totalisasi ini berakar pada sebentuk kebutuhan (karya seni disini berperan sebagai alat kebutuhan semata, bukan naluri yang benar – benar memahami arti dan fungsi karya tersebut).

Beberapa poin ajaran posmodern bertumpu pada nilai penting konteks yang mudah di pahami, situasi diskursif, dalam bertindak narativisasi, baik fiksi maupun historiografi (Linda Hutcheon). Salah satu kontradiksi representasi yang belum terpecahkan dalam fiksi posmodern adalah hubungan antara masa lalu dan masa kini. Dalam The Book of Daniel, membahas persoalan seorang tokoh revolusioner 1960-an, Arti Sternlicht, menolak masa lalu atas nama masa kini dan masa depan. Hubungan antara masa lalu dan masa kini menyita perhatian historiografi.

Masa lalu yang dimaksud disini masa lalu penuh dengan kebingungan  yang menjadi kepingan – kepingan pengalaman itu menjadi pengetahuan. Bagaimana masa kini dapat mengetahui masa lalu yang diceritakan? Kita tidak pernah berhenti menceritakan masa lalu, tapi syarat dari sebuah pengetahuan kita harus kembali mengingat masa lalu (flashback) sebagai rangkuman yang bernilai. Pandangan yang menyatakan bahwa, senyata apapun independensi masa lalu itu, ada untuk kita saat ini sekedar sebagai jejak pada masa kini. Masa lalu yang tidak hadir hanya disimpulkan dari kesimpulan fakta – fakta yang telah diketahui tetapi sulit dijelaskan dengan cara yang lain.

Tegangan yang diciptakan kesadaran ini, bahwa kita hanya dapat memahami masa lalu melalui masa kini tidak mengendurkan seniman posmodern untuk terus berusaha menghindar dari pencairan tegangan. “Kita harus menghentikan kebiasaan menyamaratakan struktur sosial periode masa lalu yang berbeda – beda dan melucuti perbedaanya sehingga menjadi kurang lebih mirip dengan struktur sosial zaman kita sendiri, yang dari proses itu kita mendapatkan perasaan tertentu bahwa kita telah mengenal semuanya, dengan kata lain kepermanennan yang murni dan sederhana. Sebagai pengganti, kita harus membiarkan tanda – tanda pembedanya tetap ada di sana dan mempertahankan ketidak permanennan,sehingga periode kita sendiri dapat dilihat sebagai tidak permanen”. (Brecht 1964: 190).

PENGARUH POSMODERN DALAM SENI RUPA DI INDONESIA

Pengetahuan membuka lebar cakrawala perkembangan seni rupa Indonesia, digambarkan oleh Pramoedya Ananta Toer , lewat sosok fiktif yang ambivalen, Minke, dalam roman masyhur karangannya, Bumi Manusia : “Salah satu hasil ilmu-pengetahuan yang tak habis-habisnya kukagumi adalah percetakan, terutama zincografi. Coba, orang sudah dapat memperbanyak potret berpuluh ribu lembar dalam sehari. Gambar pemandangan, orang besar dan penting, mesin baru, gedung-gedung pencakar langit Amerika, semua dan dari seluruh dunia – kini dapat aku saksikan sendiri dari lembaran-lembaran kertas cetak “ .

Penafsiran dan artikulasi pengetahuan kolonial menciptakan bayangan sebagian pribumi untuk menjadi sebuah bangsa yang mandiri, lepas dari kolonialisme. Tentunya didukung oleh kondisi sosial-ekonomi dan kebijakan Hindia-Belanda pada saat itu, yang tengah merekah menjadi permata di khatulistiwa. Kapitalisme cetak yang pesat juga membentuk “museum – museum tanpa dinding” dimana para pemuda terdidik dengan khidmat memperhatikan citra – citra dari barat dan mengagumi seni rupa modernnya. Informasi tercetak inilah salah satu faktor utama penularan estetika barat ke dalam kehidupan intelektual masyarakat pribumi terdidik.

Perbincangan seputar identitas ke - Indonesia-an dalam wacana kesenian, khususnya dalam bidang seni rupa bergulir mulai tahun 1930-an hingga awal 1970-an. Terutama ketika kemunculan PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia), sebagai lembaga yang menaungi para seniman yang mendukung gerakan nasionalisme. Dengan menunjuk S. Soedjojono sebagai juru bicara, mengeluarkan manifesto tentang kepentingan mencari jati diri dalam seni lukis. Karya – karya generasi ini banyak mengetengahkan realita perjuangan untuk upaya membebaskan diri dari penjajahan. Dengan mengapropriasi corak – corak modern Eropa seperti ekspresionisme macam Vincent Van Gogh, atau corak lukisan Goya atau Monet.


One East ArtSpace is on 30 Bideford Road, #03-02 Thong Sia Building
Tetapi memang Soedjojono, dan golongannya, mampu menyisipkan nilai – nilai unik yang khas dalam karya-karya mereka. Perwujudan nilai lokal, “jiwa khetok”, yang mengandung semangat nasionalisme. Sehingga klaim sebagai seni lukis modern juga merupakan perwujudan manifestasi politik identitas, sekaligus bentuk apropriasi politik  terhadap seni modern barat. Maka ketika kemudian di dekade 1950-an, anak-anak muda, murid seorang guru gambar Belanda, Reis Mulder dari Bandung, mengadakan pameran yang menyajikan karya akademis, bercorak abstraksi, kubistik, dan lainnya. Membawa reaksi keras dari para tokoh PERSAGI dan pendukungnya. Trisno Sumardjo, kritikus ternama kala itu,  khawatir bahwa akademi dengan metode yang diajarkan orang Belanda di Indonesia, bisa menghilangkan dimensi jati-diri suatu bangsa. Dengan kanonnya, yang menganggap sekolah seni di Bandung sebagai pengabdi dan laboratorium Eropa. Melalui estetik yang meminjam dari corak lukisan modern Barat. Perdebatan ini pula yang memulai adanya wacana  pendidikan tinggi seni rupa di Indonesia, selain juga melanjutkan sengkarut perdebatan identitas seni lukis Indonesia.

Dalam seni rupa kontemporer , di wilayah Asia, dalam dekade terakhir begitu menguat terutama tercermin dalam penjelajahan visual para perupa muda, terutama di tahun 1990-an hingga kini.  Di Indonesia khusunya, perayaan memasuki budaya visual banyak di sambut oleh kalangan muda. Mereka begitu khidmat menyelusup ke dalam dunia imaji virtual maupun dalam keseharian. Mulai dari imaji yang ikonik maupun yang biasa. Dari yang kanonik maupun yang tersembunyi. Imaji yang luhung seperti dalam sejarah seni rupa maupun populer, serta rendahan atau kitsch. Pameran “ Dalam Apropriasi”  berkesempatan untuk meninjau lebih lanjut praktek seni rupa saat ini, terutama dari para perupa yang sejak awal tertarik dengan persoalan dunia imaji “sang lain” sebagai konstruksi atau landasan keberangkatan gagasan, alih-alih inspirasi, untuk menciptakan karya-karyanya, maupun perkembangan kreatifitas artistiknya.

Merayakan Citra Praktek seni rupa kontemporer menunjukan bahwa ranah teknologis, technoscape atau mediascape telah mengkonstruksi pandangan baru bagi para seniman untuk memahami dunianya, bukan hanya eksternal tetapi juga secara internal, mencoba menjelajahi, menggali, serta menemukan nilai-nilai berbeda. Memancarkan hasrat besar untuk menjelajahi dunia imaji bagi para seniman. Walaupun itu harus meminggirkan dan menyisihkan apa yang disebut identitas dalam pengertian yang konservatif. Namun tidak serta-merta melenyapkan hasrat kepribadiannya, alih-alih terjadi juga upaya pencarian jati diri dalam era globalisasi yang menyertakan strategi budaya lokal (atau kita juga terbiasa mendengar jargon G lokal).

Strategi apropriasi menjadi fenomena utama praktek seni rupa kontemporer, bukan hanya di Amerika Utara tahun 60-an tetapi juga kemudian merambah diwilayah perkembangan di Asia termasuk di Indonesia. Didaratan China, perkembangan strategi artistik dengan apropriasi sudah umum dan radikal, sehingga menimbulkan kekaguman para pengamat dan pencinta seni di Barat. Di Indonesia dan mungkin di negara berkembang lain, gajala seni rupa apropriasi menuntut para seniman, dan pengamat untuk lebih sadar akan sejarah seni rupa modern Barat, dan sekaligus tajam terhadap pengamatan sosial-budaya lokal. Praktek seni dengan strategi apropriasi yang dihadirkan dalam pameran ini, diharapkan mengarahkan kita pada cakrawala yang lebih lebar, dan penuh kesemrawutan nilai global – lokal dengan suasana yang bernuansa parodi, ironis dan penuh kejutan –kejutan kasat mata. Sehingga godaan untuk mengalihkan dari makna inti dibaliknya begitu besar.

Posmodern lebih jauh menekankan ketegangan itu yang ada, disatu sisi, antara masa lalu dan ketidakhadiran masa lalu serta kekinian (kontemporer) antara peristiwa aktual masa lalu dan tindak pemprosesan peristiwa itu menjadi fakta oleh para sejarahwan. Seni yang berkembang pada era posmodern sering disebut juga seni parodi,sering juga disebut kutipan ironis, pastiche, daur ulang, atau intertekstualitas biasanya dianggap sentral. Bagi para seniman, posmodern dikatakan pendobrak atau perusak alur citra masa lalu dengan cara yang sedemikian rupa sehingga memperlihatkan sejarah representasi diparodikan. Menurut pandangan Abigail Solomon Godeau (1984),”Siap dibuat-nya kubu modernis dunchamp telah menjadi posmodernisme”. Perulangan parodis masa lalu seni tidak bersifat nostalgis, tapi selalu kritis. Selain itu, perulangan ini tidak bersifat ahistoris atau mendehistorisasi: tidak mencerabut seni masa lalu dari konteks historis orisinilitasnya dan menata ulang dari sudut pandang masa kini. Proses penggandaan atau reproduksi terhadap karya seni terdahulu yang dibangun dan mengironikan, parodi justru memperlihatkan bagaimana representasi masa kini berasal dan representasi masa lalu dan konsekuensi ideologis yang dihasilkan, baik dari kontinuitas maupun perbedaan.

Parodi posmodern juga menggugat asumsi humanis kita tentang orisinalitas dan keunikan artistik serta konsep kepemilikan dan hak kapitalis kita. Melalui parodi atau bentuk repro karya seni yang telah dibuat tahun sebelumnya kemudian diolah kembali pada jaman sekarang, memiliki orisinal dalam hal yang langka, tunggal, dan berharga (dari sudut estetik maupun bisnis). Dalam kenyataannya karya seni tidak akan kehilangan makna dan tujuannya, tapi akan mendapatkan suatu pandangan yang baru dan signifikasi yang berbeda, dengan kata lain parodi berperan mengangkat representasi karya seni baru. Pandangan umum mengenai karya seni parodi posmodern adalah bentuk kutipan masa lalu yang bebas nilai, dekoratif, dan terdehistorisasi. Penafsiran ini mengajukan pendapat  bahwa parodi posmodern merupakan bentuk pengakuan sejarah melalui ironi yang mempersoalkan dan mendenaturalisasi nilai.

Banyak pengamat seni posmodern beranggapan istilah “parodi” yang digunakan, merupakan pengaruh konsep jenaka (wit) dan ridicule abad ke-18. Dalam definisi parodi sendiri perlu ditekankan bahwa kitatidak boleh membatasi diri dari periode waktu yang sempit pada bentuk seni abad 21. Parodi memiliki ruang lingkup bentuk dan maksud yang luas, mulai dari ridicule yang cerdas, absurd sampai ridicule yang sangat terhormat. Para kritikus seni, termasuk Jameson berpendapat kutipan ironis posmodern sebagai pastiche atau parodi kosong. Mereka mengatakan bahwa hanya gaya yang unik yang dapat diparodikan dan bahwa kebaruan dan individualitas semacam itu mustahil pada zaman sekarang. Menurut pandangan parodis dan individual Salman Rushdie dan Angela Carter, pendapat tersebut sulit untuk dipertahankan, bahkan sangat mungkin untuk dibaikan bila terbukti tidak memiliki banyak pengikut yang berpengaruh.

Pastiche dikatakan sebagai stempel resmi posmodernisme neokonservatif (Foster 1985), karena dianggap mengabaikan konteks dan kontinuitas dengan masa lalu serta secara keliru mencairkan bentuk seni dan mode produksi konfliktual. Menurut Linda Hutcheon, parodi posmodern tidak mengabaikan konteks representasi masa lalu yang dikutip, tetapi menggunakan ironi untuk mengakui fakta bahwa secara tidak terelakan kita terpisah dari masa lalu karena waktu dan kelanjutan sejarah representatif, disamping kontinuitas terdapat juga perbedaan ironis yang disebabkan oleh histori itu sendiri. Parodi posmodern merupakan semacam revisi atau pembacaan ulang yang mempersoalkan kekuatan dan sekaligus meruntuhkan kekuatan representasi sejarah. Keyakinan paradoks tentang keterpencilan masa lalu dan kebutuhan untuk menghadapinya di masa sekarang disebut sebagai dorongan alegoris posmodernisme, Owens (1980) menyebutnya parodi.

Catatan sejarah resmi dicantumkan pada bagian awal lukisan abad ke-19 karya Henry Wallis, yang menggambarkan kematian Thomas Chatterton seorang penyair dan Plagiat karya seni abad ke-18 yang terkena penyakit kelamin Veneral Disease, dimana lukisan itu digambarkan secara parodis komplek, dengan figur Wajah Chatterton yang terlihat banyak keriput tetapi tubuhnya digambarkan anak berumur 18 tahun. Dari lukisan tersebut, obsesi fiksi muncul dengan karya lukis Wallis yang melukiskan Meredith atas kematian Chatterton dengan identifikasi diri terhadap obsesinya bahwa Chatterton melihat kematiannya sendiri yang sekarat dalam lukisan  Wallis.

Lukisan parodis Mark Tansey yang berjudul “ The Innocent Eye Test “ mengambil bentuk representatif kanonik lain. Lukisan itu menggambarkan pembukaan selubung lukisan Young Bull karya Paulus Potter pada 1647, yang dulu diakui sebagai paradigma seni lukis realis, namun reproduksi Tansey secara parodis lukisan digambarkan dinilai oleh seekor sapi, yang dianggap lebih mampu menilai realisme dunia sapi (bullish) dan lebih sesuai untuk menyimbolkan “Innocent Eye” secara ironis, seperti yang dikatakan teori mimetik tentang transparansi representasi. Lukisan tersebut adalah beberapa contoh parodi ironis posmodern, yang menggunakan konvensi realisme untuk memunculkan kompleksitas representasi. Parodi yang diterapkan kemunculan posmodern menjadi mode dominan sejumlah besar seni modernis terutama dalam lukisan karya Picasso, Manet, serta Magritte.

Parodi dalam seni modern menegaskan konvensi dan sejarah sementara mengambil dari jarak keduanya. Kontinuitas penggunaan parodi posmodernis dan modernis sebagai strategi daur ulang masa lalu dapat ditemukan pada serangan kompromi yang sama pada konvensi representasi, namun terjadi signifikan sementara posmodernisme ironis dan parodis seperti yang dikatan sejumlah pengamat seni bahwa ironi posmodern adalah ironi yang menolak dorongan penyelesaian (resolving urge) yang keduanya tidak dapat dilepaskan dari komplisitas.

Asumsi modernis yang tidak diakui tentang penyimpulan dan pengambilan jarak, otonomi artistik, serta sifat apolitis representasi adalah hal – hal yang akan diungkap dan didekonstruksi oleh posmodenrisme. Menurut Burgin (1986) “ Pretensi Independensi artistik modernis diruntuhkan penyingkapan sifat produksi makna yang secara khusus “intertekstual”; kita tidak dapat lagi mengasumsikan secara tidak problematis bahwa “seni”, ada “di luar” kompleksitas praktek dan institusi representasional lain dalam kaitannya, terutama dewasa ini dengan seni yang membentuk apa yang secara problematis kita sebut “media massa”. Seni posmodern selalu menggunakan parodi dan ironi untuk mengungkapkan dan menyertakan sejarah senidan ingatan para penikmat seni dalam penilaian bentuk dan isi estetik melalui pengkajian ulang seperti yang ditegaskan La Capra (1987) “ Ironi dan parodi itu sendiri bukanlah tanda yang jelas pelepasan ego transedental dan apolitis yang melayang – layang di atas realitas historis atau tenggelam di tengah daya tarik aporia. Tetapi penggunaan ironi dan parodi yang tertentu dapat memainkan peran, baik dalam kritik ideologi maupun dalam antisipasi kebijakan di mana komitmen tidak diabaikan tapi menyertai kemampuan untuk mendapatkan jarak kritis pada komitmen dan hasrat terdalam”.

Kategori parodi ke dalam wilayah pastiche yang ahistoris dan kosong, semuanya tidak ada dalam kebudayaan kontemporer sekarang ini. Parodi posmodernisme pada dasarnya ironis dan kritis, bukan nostalgis atau antiquarian ( berhubungan dengan masa lalu ) dalam kaitannya dengan abad kuno. Parodi posmodern mende-doksifikasi asumsi kita tentang representasi masa lalu, secara dekontruktif dan secara konstruktif kreatif, secara paradoks membuat kita sadar tentang batasan dan kekuatan representasi dalam medium apa pun. Pierre Menard dunia seni dewasa ini, mengatakan alasannya mengapa parodi tidak terelakan bagi posmodernisme. Menurut Levine (1987) “ Setiap kata, citra, disewakan dan digadaikan. Kita tahu bahwa gambar adalah ruang di mana berbagai macam citra, yang semunya tidak orisinal, saling bercampur dan berbenturan. Gambar adalah jaringan kutipan yang diambil dari sekian banyak pusat dan aspek kebudayaan, sedangkan pengamat adalah lembaran kertas di mana semua kutipan yang menyusun gambar digoreskan tanpa ada yang terlewat”.

Strategi posmodern juga sering digunakan oleh beberapa seniman feminis untuk menunjuk sejarah  dan kekuatan sejarah representasi kultural, sementara secara ironis mengkontekstualisasikan keduanya dengan cara yang sedemikian rupasehingga mendekonstruksinya. Karya – karya seni yang diputarbalikan dari arti atau makna itu sendiri  seperti salah satu karya fotographi yang menampilkan sosok seorang pria telanjang terkapar lemah dan pasif dan sosok wanita tegap dengan memandang pada pria tersebut, karya tersebu mendenaturalisasi ikonografi pembalikan gender, bahwa wanita bisa sekuat pria, dan pria pun bisa selemah seorang wanita.

Kontekstualisasi kritis yang sama dan daur ulang masa lalu serta praktik representasinya juga dapat dilihat dalam seni visual, pameran Second Sight di San Fransisco Museum of Modern Art di mana Mark Tansey memamerkan lukisan yang berjudul The Triumph of the New York School, parodi yang dimunculkan beragam merujuk pada sebuah buku  termahsyur karya Irving Sandler, The Triumph of American Painting, namun karya itu sendiri secara ironis mengharfiahkan judul tersebut anggota tentara perancis ( yang dilukis mirip Picasso, Duchamp, Apollinaire, dan Leger ) menyerahkan senjata – senjata kuno mereka pada tentara amerika yang secara teknis lebih superior ( perwira yang direpresentasi antara lain Jackson Pollock, Clement Greenberg, dan Barnett Newman). Keseluruhan komposisi Tansey adalah parodi karya Velasquez, Surrender of Breda (1634), yang merepresentasikan sikap ksatria yang spesifik dalam Thirty Years War serta pengagungan seni yang lebih umum melalui perang. Secara ironis semuanya dibalik dan ditempatkan pada konteks yang sepenuhnya berbeda.

Persoalan aksesbilitas yang direpresentasikan atau komposisi yang diparodikan dalam fiksi Parodis Posmodern. Akses penggunaan parodi dalam semua bentuk seni, memiliki ancaman riil elitisme atau minimnya aksesbilitas. Komplisitas parodi posmodern memiliki penegasan dan peruntuhan hal apa yang diparodikan dan berperan penting untuk memahami kemampuan. Hal ini dapat diperjelas dengan seringnya frekuensi daur ulang parodis citra pada media seni apa pun. Kita tidak perlu memahami keseluruhan sejarah seni untuk memahami kritik representasi – representasi, yang harus kita pahami sebagai ahli di bidang seni dapat mengetahui keadaan sekitar kita  atau peka terhadap lingkungan yang sedang berkembang saat ini. Sejumlah seniman posmodern banyak menggunakan parodi dalam karyanya untuk memulihkan kembali sejarah seni adiluhung, untuk menyambungkan kembali strategi representasional masa kini dengan strategi representsional masa lalu untuk mengkritik keduanya.

Pada titik – titik historis tertentu, kutipan atau apa pun yang disebut parodi memungkinkan terjadinya kekalahan alienasi, penyambungan kembali yang ditegaskan dengan tradisi – tradisi kabur, namun peninggian masa lalu yang tidak dikenal atau yang tidak terpakai akan menekankan pemisahan dengan masa lali yang paling dekat (immediate past), keterpecahan revolusioner dalam arus sejarah yang diandaikan, yang dimaksudkan untuk meruntuhkan kredibilitas penjelasan – penjelasan historis dominan yang membela sudut pandang para pecundang sejarah. Peninggian kutipan dapat menandakan, bukan penghapusan diri, tapi ketetapan hati pencairan yang menguat atau terkonsolidasi. ( Martha Rosler 1981 ). Parodi sejarah dapat memberikan cara baru merepresentasikan para pecundang yang ditandakan sejarah kesuksesan finansial dan artistik seni di Amerika pada 1930 yang sangat kontras dengan lestarinya kemiskinan dan penderitaan”.

Parodi dalam seni posmodern lebih dari sekedar tanda saling perhatian pada karya di antara para seniman dan pada karya seni masa lalu. Parodi dapat sungguh – sungguh terlibat dengan nilai yang ditegaskan dan sekaligus diruntuhkan, tetapi peruntuhan tetap berlangsung representasi parodis posmodern berbeda dengan penggunaan ilusi. Posmodern memiliki hubungan yang sama dengan masa lalu modernisnya, seperti yang dapat dilihat pada arsitektur posmodern zaman sekarang, baik kesadaran yang penuh penghormatan, meskipun problematis, pada kontinuitas kultural maupun kebutuhan untuk menyesuaikan diri pada tuntunanformal dan kondisi sosial yang terus berubah – ubah melalui penentangan ironis pada otoritas kontinuitas yang sama. Dari sudut pandang ini, kesadaran posmoder lebih tidak radikal di bandingkan kesadaran modernis, lebih kompromistis, secara ideologis lebih ambivalen atau kontradiktif. Pada saat yang sama kesadaran posmodernitas mengeksploitasi dan sekaligus meruntuhkan apa yang muncul sebelumnya, yaitu kasadaran modernis dan realis tradisional.

Hubungan ideologis dan subjektivitas adalah hal sentral dalam posmodernisme. Dewasa ini serangan pada konsep humanis tentang individu yang kohern, kontinu, otonom ( yang secara paradoks juga memiliki esensi manusia universal tergeneralisasi yang sama ) dari semua sisi, mulai dari filsafat post- strukturalis dan teori sastra, Filsafat Marxis, Psikoanalisis Freud dan domain – domain lain. Kita melihat bahwa fiksi dua bentuk, merupakan seni yang memiliki relevansi yang tertentu dalam pemersoalan sifat dan formasi subjek tersebut. Modernis mengkaji pemajuan pengalaman dalam diri di tengah – tengah fragmentasi, dengan kata lain fokus modernisasi pada subjektivitas, masih berada dalam kerangka humanis dominan, meskipun pencarian obsesifnya pada keseluruhan memperlihatkan titik awal apa yang menjadi pemersoalan posmodern yang lebih radikal, serangan yang dimunculkan kegandaan wacana posmodern, dengan kata lain posmodern bekerja, baik menggarisbawahi maupun meruntuhkan kionsep subjek koheren dan mandiri sebagai sumber makna dan tindakan.

KESIMPULAN

Persoalan globalisasi yang semakin pelik di antara kita, di mana kehidupan nyata dan kehidupan fiktif  bercampur  menjadi satu dengan kesadaran diri. Posmodern sebagai era tingkat generasi manusia tidak lepas dari keutuhan humanis modernis, bahkan selalu mengeksploitasinya, namun eksploitasi tersebut dilakukan atas nama penentangan nilai dan keyakinan yang mendasari konstruksi keutuhan dengan penekanan pada tindak konstruksi melalui representasi. Posmodern menawarkan kepada publik yang sangat terbuka bagi kompleksitas referensial parodi dari masa lalu, agar semua orang mengingat kembali kejadian atau sejarah masa lalu yang menjadi ujung tombak kemajuan masa kini. Posmodern memberikan khas terutama dibidang seni, karya – karya seni yang selalu mengetengahkan kehidupan masa lalu yang menjadi sejarah diangkat kembali menjadi topik pembicaraan dengan memberi kesan masa kini, penggabungan dua kultur yang menjadikan kuatnya suatu personal manusia. Karya seni yang memberikan citra sejarah akan tetapi mengangkat dunia kontemporer dengan parodi dan ironi sebagai senjata para seniman posmodern.


Sonny Hendrawan, Happy New Year,180x140 cm, acrilyk on canvas, 2010

 Pembahasan posmodern sebagai pembahasan berbagai persoalan masyarakat industrial moderen yang kemudian merambah pada inti permasalahan yaitu ke dalam seni rupa. Dalam persoalan kali ini secara tidak langsung pengaruhnya masuk dalam sisi individu seniman.

Karya tulis ini saya buat bukan semata – mata dari kegelisahan saya akan tetapi melihat perkembangan seni lukis sendiri yang sudah kehilangan identitasnya sebagai karya yang adiluhung. Semoga makalah ini bisa menjadi penambah referensi pemikiran terutama seni rupa yang berisi tentang pembahasan tentang mengapa seni posmodern perlu diangkat dan apa saja yang menjadi persoalan representasi dalam bentuk seni.


DAFTAR PUSTAKA

- Hutcheon, Linda. 2004. Politik Posmodernisme Linda Hutcheon, Jendela. Yogyakarta

- Adam, Ian, dan Helen Tiffin. 1990. Past the Last Post : Theorizing Post Colonialism and Post Modernism, Calgary : Calgary Press

- Barthes, Roland. 1973. Mythologies, terjemahan Annette Lavers. Granada. London

- Silverman, Hugh J. 1990. Postmodernism: Philosophy and the Arts, New York and London: Routledge

Tidak ada komentar: