Senin, 28 Juli 2014

Pancaroba-Pancaroba di Jantung Indonesia

Dokumentasi: Baliho Pameran Komunitas Garis Cakrawala 22 Maret 2014
di Galeri Cipta II, Jakarta.


PANCAROBA PANCAROBA :
Ikhtiar Menunggu Musim
Hendra Himawan*

P
ancaroba, musim peralihan, atau era transisi mempunyai pengertian yang sosiologis. Namun, peralihan dari apa ke apa dan dalam konteks apa? Denyut seni rupa sebuah kota sangat ditentukan oleh individu dan komunitas para pekerja seninya. Dan hari ini, seni rupa Solo ‘hidup’ setelah sekian masa dianggap senyap. Terlewati dari perbincangan seni, sering kalah rampak dengan seni pertunjukannya. Apakah individu perupanya ikut senyap, tidak!. Mereka terus bergerak mencari jalan untuk menggerakkan ruang hidupnya.

Pancaroba Kota

Misi Surakarta sebagai Kota Budaya dengan arus modernisasinya yang deras, menghadirkan tegangan tersendiri ketika keduanya dihadap-hadapkan. Antara spirit tradisional dan realita modernitas yang menuntut untuk dinegosiasikan. Kebudayaan menjadi arena pertemuan keduanya, memaksa masyarakat bersiasat agar keduanya menyatu, atau bahkan, me’negasi’ satu lainnya. Dampak tegangan ini pun merasuk dalam wilayah-wilayah kesenian, khususnya seni rupa. Bukan dalam persoalan esthetisme semata, ambiguitas konsep budaya kota ini merasuki pola pikir para perupanya, yang berujung pada banyaknya individu  yang menarik diri dari persoalan ini. Ketakutan-ketakutan yang dibayangkan pun akhirnya muncul. Egoisme-egoisme individu dan komunal yang berujung pada apatisme dan keputus-asaan akan seni rupa kota Solo yang ‘stuck’, terlewati dari wacana-wacana besar seni rupa Indonesia.  Sudah sekian lama seni rupa Surakarta mengalami masa Pancaroba!

Persoalan ini yang menjadi pangkal kegelisahan Garis Cakrawala. Lima tahun tumbuh dan bergerak, mereka menyisir simpul-simpul persoalan. Infrastruktur seni rupa yang kurang dan cenderung lemah, pola pikir para perupa yang individual, senioritas yang kental, kampus seni rupa yang jauh dari dialektika perkembangan seni, institusi pemerintah yang abai, adalah sekian dari banyak hal membuat seni rupa Surakarta terkesan dingin. Garis Cakrawala hadir menjadi ‘rumah kecil’ yang diikhtiarkan untuk mampu menghangatkan para perupa yang berada di dalamnya. Menumbuhkan semangat kolektivitas yang penuh keterbukaan, membangun dialektika pemikiran, mengasah pemahaman estetik dan artistik, yang berujung pada tawaran-tawaran gagasan akan perubahan dinamika seni rupa Surakarta. Sebuah mimpi besar yang terus menerus diupayakan hingga hari ini.

‘PANCAROBA-PANCAROBA’ adalah jendela bagi rumah Garis Cakrawala untuk menengok apa yang terjadi di luaran, melihat beragam persoalan untuk kemudian dikaji, direnungkan. Celah untuk menumbuhkan sikap dan tawaran-tawaran bagi diri dan lingkungannya. 

Pancaroba Komunitas

Komunitas seni rupa di Surakarta jumlahnya sangat banyak, meski terbilang sporadis. Komunitas atau kelompok yang memang bervisi dan bermimpi panjang, ataupun sekedar kumpul-kumpul membuat project pameran dan bubar tanpa beban setelahnya. Kebanyakan adalah kelompok-kelompok mahasiswa dari kampus-kampus seni rupa. Euforia berkelompok memang sangat dominan di kota yang terkenal dengan HIK (angkringan)-nya ini. Beberapa komunitas seni rupa yang masih aktif bergerak, biasanya didukung oleh kawan-kawan perupa muda yang loyal, atau karena ikatan pertemanan yang kuat, dan atau rasa ‘perkewuh’ pada senior.

Kecenderungan yang ada, kegiatan pameran atau project seni menjadi satu-satunya tujuan tetap bertahannya sebuah komunitas. Eksistensi diukur dari berapa kali menyelenggarakan event, banyaknya apresiasi yang didapat, ramainya jumlah pengunjung, syukur-syukur ada berkah materi. Orientasi pada produksi pengetahuan, apresiasi kritis, bahkan visi konseptual yang berkesinambungan masih kurang, dan cenderung abai. Banyak penyelenggaraan event terjebak pada perayaan-perayaan, tawaran gagasan (bahkan kritik) masih seputar tampilan visual, teknik presentasi, dan artistik. Visi-visi ideologis masih jarang dihadirkan.

Banyaknya komunitas seni rupa yang ada di Surakarta memang tumbuh secara natural karena kebutuhan akan ikatan kolektif, berkumpul dan berteman. Hal ini wajar dan meski dimaklumi karena kebutuhan akan ruang-ruang sharing dan ruang proses kreatif masih sangat minim.

Timbul tenggelamnya komunitas dan gesekan gesekan akan ruang komunitas yang terjadi akibat lemahnya visi tidak membuat iklim berkesenian berubah signifikan. Kecenderungan untuk asik bermain di wilayah sendiri menyebabkan dinamika seni rupa di Surakarta malah terbelah-belah. Hal yang sama juga dialami dan dirasakan selama Garis Cakrawala berdiri. Bongkar pasang personel, dialektika proses yang mandeg, visi yang masih kabur, menumbuhkan refleksi untuk perubahan. Mengalami jeda masa dan peralihan misi, ‘PANCAROBA PANCAROBA’ ini menjadi terapi tersendiri bagi Garis Cakrawala. Dengan merangkul rekan rekan komunitas lainnya, SAYAP (Surakarta Young Artist Project). Dengan turut sertanya kawan-kawan muda, dengan kecenderungan karya yang segar dan bergaya popular. Mereka membuka kemungkinan atas praktek praktek penciptaan komunal yang lebih beragam. Pertemuan ini menurut saya menjadi penting untuk memhami siklus perkembangan dan dinamika komunitas seni lain yang sama sama bergerak di kota Surakarta.

Perhelatan kali ini juga menjadi satu titik balik bagi Garis Cakrawala menyusun ulang ideologi mereka hari ini. Tidak mau meninggalkan jejak sejarah perjalanan seni rupa di Surakarta, mereka mencona menggali spirit pergerakan komunitas-komunitas yang lebih dulu tumbuh, melihat pergerakan yang telah dilakukan untuk merumuskan gerakan taktis mereka ke depannya. Ikatan tradisi yang kental di kota ini, menjadi jalan mereka untuk mengangkat nilai nilai dan spirit tradisi sebagai bagian dari riset, kajian dan platform komunikasi ketika berhadapan dengan publik seninya sendiri. Dan justru dengan iitu pula, Garis Cakrawala mempunyai karakter dan warnanya tersendiri.

Menyayangi masa lalu, dan terus belajar, menemukan cara cara baru untuk memahami hari ini, dan selalu bergerak untuk masa depan. Menurut saya kalimat ini yang yang tepat untuk menggambarkan spirit Garis Cakrawala saat ini.

Pancaroba Proses Individu

Pancaroba dalam sebuah proses kreatif sangat penting bagi seorang perupa. Sebab proses kreatif senantiasa bergerak, dinamis seiring dengan laju pengalaman dan pemahaman pada jalur kesenian yang dipilih. Pancaroba adalah titik reflektif untuk menuju percepatan-percepatan.  Geliat seni rupa kota yang lambat merayap, gerak komunitas yang mulai tumbuh rapat, tak ayal menarik sebagian individu perupa muda Surakarta membangun koloninya. Dengan berkelompok-berkomunitas, proses kreatif yang terpencil dan menyendiri di studio, buntu di jalur pikiran boleh dibuka. Pengalaman estetik dapat dikaji-disharingkan bersama, sementara wilayah artistik karya tentu mendapatkan celah kritik yang membangun. Pancaroba dalam proses kreatif adalah masa peralihan dari stucknya pemikiran, kebuntuan pemahaman, matinya kritik, dan ego idealisme yang terkadang konyol. Peralihan dari proses personal ke komunal, dari ego ke toleransi, dari eksistensi buta kepada visi gerakan kebudayaan. Peralihan seperti iniilah yang kemudian akan menuntun kesadaran bagi para perupa untuk mengambil sikap-sikap yang lebih bertanggungjawab atas jalan pilihan keseniannya.

Dalam proses karya individu, hal inilah yang saya tangkap dari PANCAROBA PANCAROBA yang digagas Garis Cakrawala. Beragam 'peralihan' yang terjadi di lingkungan seni rupa dan kebudayaan dalam ranah : diri, komunitas, kota, hingga dimensi sosial politik  negara, menjadi pemicu munculnya reaksi reaksi reflektif dalam diri perupa-perupanya.

Setiap pergantian rejim penguasa, agenda politik yang diusung selalu berdampak pada perubahan kebudayaan. Sebagaimana yang dilukiskan oleh Irul Hidayat dalam karya ‘Pancaroba Kepemimpinan’ (2014). Dalam karyanya ia hadirkan seluruh wajah penguasa yang pernah memimpin negeri ini dengan beragam warna yang mampu mewakili citra diri mereka (warna partai misalnya). Dengan karakter deformasi garis yang tegas membentuk outline raut wajah, Irul menonjolkan karakter dan kekuatan pemikiran penguasa yang mampu dirasakan bekas-bekasnya. Pancaroba kebudayaan yang terjadi dari satu rejim ke rejim selanjutnya, dinegasinya dengan menghadirkan figur muda perempuan yang tampak centil dan kenes. Dari gambarnya tersirat bahwa sekencang apapun pergolakan politik yang diusung, kebudayaan selalu dianak-tirikan. Abai! Padahal kebudayaan adalah pangkal dan ujung dari setiap gerak pikir dan hidup manusia.  Modernisasi, pop kultur, ulang-alik wacana globalisasi (inferioritas global, dan puritanisme lokal), tak berfungsinya tapis (filter) kebudayaan, mengakibatkan hilangnya kepercayaan akan apa itu definisi ‘identitas’, ‘nasionalisme’, dan ‘bangsa?’ 

Kisah yang sama juga diceritakan Sony Hendrawan dalam karyanya yang berjudul ‘Opera Klasik’ (2014). Ia membuat imajinasi sendiri akan ketimpangan sosial yang banyak dijumpai. Dunia yang sudah dibolak-balik, “sing ndhuwur mabur, sing ngisor ndlosor” (yang di atas semakin terbang tinggi, yang dibawah semakin tiarap). Peralihan kekuasaan selalu membawa dampak dimana seringkali ada nilai dan subjek subjek yang mesti dikorbankan. Bagi yang menang ia akan mendapatkan hak dan kemerdekaan-berkuasa, sementara yang kalah harus siap bernegosiasi dengan keterbatasan-keterbatasan. Di sekat sistem penguasa, di rampas hak suaranya. Belum lagi soalan-soalan kehidupan yang menjerat, sementara pemegang kendali negeri tenang mengayuh sauh nafsu sendiri. Dan menurut Sony, hanya imajinasi-imajinasi akan negeri yang tenang dan damai,  yang akhirnya mampu dibeli dan dihayati.

Dan apa jadinya jikalau imajinasipun dilarang dan dibatasi? Menurut saya, Wahyu Eko mampu menggambarkannya dengan apik, melalui karyanya ‘Bisik Bisik Sebaya’ (2014). Manusia hari ini tidak ubahnya robot, dikendalikan oleh ‘visible hand’, dikuasai dan didominasi. Kita hari ini menjadi bagian dari sistem-sistem sosial yang kita tidak mengetahui dari mana ia dikonstruksi dan disepakati. Hari ini pola pikir kita dikondisikan oleh ruang, waktu, dan pemahaman kebanyakam. Hanya ‘commonsense’ yang pada akhirnya menjadi tolak ukur kebenaran. Maka Bisik-bisik sebaya sangat menentukan siapa diri dan identitas kita. Epigonik, hilangnya akal-budi, runtuhnya cita-cita ‘memanusiakan manusia’, itulah kritik-satire yang dilontarkannya.

Melalui karya yang berjudul ‘Red Label (Possesive)’ (2014)Arisno Effendi melakukan refleksi atas pengalaman-pengalaman awam manusia. Sikap-sikap emosional yang muncul akibat ego dan hilangnya kesadaran sosial muncul dalam simbolisasi kucing merah dengan ornamentasi ruang penuh warna. Kucing yang terkenal manja dan kenes menjadi personifikasi atas tingkah polah manusia yang cenderung berpuas hati dan sering cemburu dengan capaian-capaian baru yang dbuat oleh orang lain. Karya ini kental dengan sindiran meski hadir dengan gaya naif. Kita sebagai insan seni sering diuji dengan upaya-upaya mencari eksistensi diri namun mengabaikan kondisi-kondisi sosial di sekitar kita. Apakah kita merasa cukup dengan berdiri kenes dipanggung kesenian, sementara kebudayaan kita pelan-pelan menuju keruntuhan?

Celakanya memang matahari terbit sepanjang tahun diatas kepala kita. Tanah tropis yang kaya akan alam dan budaya, menjadi incaran dan jajahan hingga hari ini. Salahnya matahari yang menyebabkan tanah ini di serbu seluruh bangsa dari penjuru dunia untuk membuat kontestasi peradaban masing-masing, sementara kita hanya bisa diam, sesekali mencuri takjub dan mengangguk dengan kelapangan dada, menerima. Tapi matahari memang tidak ingkar janji, dia memberi peringatan ketika manusia melakukan kesalahan pada tanah yang disinarinya. Baik itu kesalahan ekologis, merusak tatanan alam, sosiologi hancurnya tatanan pola pikir dan kolektivitas masyarakat, rusaknya tatanan kultural dengan menipisnya perhatian kita pada peradaban kebudayaan sendiri. Hal ini yang saya tangkap dari karya Aan Sasmitra, ‘Phase The Sun’ (2014). 

Mau kemana kita berpaling? Barat atau Timur? Siapa Barat, Siapa Timur? Dimana Barat, Dimana Timur? Celakanya tanah yang kita pijak berada di ‘tengah tengah.’ Kitalah medan pertemuan dan pertempuran budaya itu. sejak kolonial hingga kontemporer, kita selalu dipaksa underestimate dengan diri kita sendiri. Jangankan kebanggan, kepercayaan akan sejarah pun dengan mudah kita tepis sendiri. Kita dirayu untuk menemu identitas, simbol, pola pikir dan peradaban baru yang mixed, cenderung campur aduk semaunya, sementara akar tradisi semakin tak tersentuh. Ketika dimunculkan yang ada hanyalah eksotika etnis, lokalitas puritan, dan kebanggaan-kebanggan pada simbol tradisi yang abai esensi. Lantas dimana dan mau apa kita? Inilah kegelisahan M. Syaifudin yang dituangkan dalam karyanya ‘Sama-sama Tak Berujung’ (2014)

Runyamnya negara ini menjadi keprihatinan Hendra Purnama. Melalui karyanya, ia lukiskan dinding pelat seng yang penuh tambal sulam dan berkarat. Ia jadikan seng sebagai bentuk keberpihakan atas kaum yang kalah, dipinggirkan dan dimiskinkan diri dan pemikirannya oleh penguasa. Merajut tampalan-tampalan menjadi dinding utuh agar kembali kuat, merajut kembali nusantara yang telah koyak, penuh karat akibat ulah kita, empu-nya yang sering abai dan tak peduli. Berupaya memupus keputusasaan dan menanam benih kepercayaan, bahwa dalam kondisi apapun, masyarakat masih mampu untuk bertahan.

Karya Rejo Arianto yang berjudul ‘Pancaroba Symphoni Cinta’ (2014), menggambarkan dua figur manusia yang berlapis-lapis soalan hidupnya. Menggunakan pendekatan realistik dalam gaya lukisan naif, ia menggambarkan sosok laki-laki dan perempuan yang menggendong anak-anaknya. Melihat lukisan ini kita diingatkan atas kisah cerita keluarga Man Brayut yang mempunyai banyak anak, dan munculnya filosofi ‘banyak anak banyak rejeki’ dikalangan masyarakat tradisi Jawa. Upaya drama satir coba dihadirkan Arianto dengan meletakkan payung digenggaman tangan sang lelaki, seolah bersetia untuk melindungi anak dan istrinya dari beragam persoalan yang datang. Kesederhanaan, kesetiaan dan kebersahajaan dalam memandang dinamika peristiwa kehidupan tertangkap jelas dalam karya ini.

Hilangnya nilai spiritualitas dalam kebudayaan pop digambarkan Indra Kamesywara dalam karyanya. Kesendirian, kesunyian, tergambar dari sosok figur menyerupai manusia berkepala burung. Simbol-simbol seperti babi terpotong, ekor ikan yang terpotong-potong menjadi presentasi akan nilai-nilai kemanusiaan yang sudah tersekat. Terbelah oleh keadaan dan wacana-wacana bohong yang abai esensi. Menggunakan pendekatann gaya lukisan pop surealisme, Indra mengajak kita untuk merefleksikan setiap teks visual maupun judul yang sangat agitatif, ‘U.NG.O.D.L.E.S.S.’ (2014).

Menggunakan pendekatan gaya-gaya personal yang cenderung pop, kelompok SAYAP menguak memory perjalanan masing-masing perupanya melalui karya-karya koper yang bergambar. Masing masing membuat ‘museum ingatan’ atas peristiwa, kenangan, hingga objek-objek visual yang sangat personal, berkaitan dengan diri mereka sendiri.  ‘Koper’ menjadi simbol pengingat akan peralihan pengalaman, pemikiran, dan kedewasaan mereka bersikap dalam dunia kesenian yang masih pendek mereka tempuh.

Sebutlah seperti Chiz yang menjadikan koper sebagai monumen koleksi akan hobbies dan kesukaannya pada corak kartun, dan tema-tema Piratez. Visualitas pop dimaknainya sebagai manifestasi kegembiraan, kesukaan yang tanpa pretensi beban esensi, namun menyiratkan proses dinamika pola pikirnya. Sama halnya koper karya Rofiq Syafrudin yang mengangkat spirit personal dalam karyanya. Simbol universal  ‘Rose’, menjadi penanda kisah dan pengalaman hidupnya. Filosofi kesetiaan dan penjagaan menjadi pengingat yang dikenangnya dalam kopernya.

David Krebonson mengolah koper sebagai ingatan akan memori gelap : pembunuhan keji dan mutilasi yang sering dilihatnya di kotak televisi. Mengolah realita keji dengan bahasa popular, mengasah kemanusiaan kita secara lembut, tanpa mengurai rasa satire yang dalam. Seperti halnya karya  Hery Acin Dwi Mulyono yang mengangkat tajuk perang dan kekerasan sebagai senjata untuk berkuasa di dunia. Imajinasinya andaikan dunia tanpa tentara, sebuah dunia dimana manusia satu dan lainnya saling melindungi.

Budaya simbol, pemujaan atas logo, penyembahan atas label dan ikon ikon popular menjadi kritik dalam karya koper Fuzan Abu Salam dan Aeseka Ms. Orang sekarang yang cenderung melihat pada presentasi bukan fungsi apalagi esensi. Hilangnya pemahaman akan nilai-nilai spiritual keseharian dalam setiap produk kebudayaan, memposisikan kita sebagai korban secara terus menerus. Produk konsumerisme telah menjadi pusat dari kebudayaan, sesuatu yang harusnya diisi oleh manusia kini diganti benda-benda mati, dan simbol simbol tak berarti. Dan ketika hal in iterjadi, Tuhan sudah Dianggap Mati sebagaimana yang diungkapkan oleh Indra Kamesywara dalam karya kopernya. Mereka sudah tidak tahu lagi siapa yang harus di dahulukan dalam kehidupan. Trend-style sama sucinya dengan agama, konsumsi adalah jalan peribadatan dan eksistensi diri  adalah surga-neraka.

Hadirnya perupa-perupa muda SAYAP ini menurut saya menjadi satu potensi yang menarik bahwa ada sharing dan presentasi karya yang dialogis, yang memberikan kesempatan bagi siapapun yang melihat karya mereka mengapresiasi cara pandang dan dialektika mereka sebagai anak muda yang dekat dengan budaya populernya.

Menunggu musim, Menjadi Pancaroba

Sebuah peralihan memberikan jeda waktu yang berujung pada sikap penantian, menunggu. Sebuah penantian yang memunculkan pengharapan, bayangan akan perbaikan dari kondisi hari ini. Sebuah ruang tunggu yang hidup dan penuh pergerakan. Dengan dinamika ruang lingkup yang terus bergerak dan berdialektika. Dimana dalam masa-masa ini, adalah tepat untuk kembali merumuskan strategi-strategi secara takstis, dan terus menerus mengevaluasi diri. Terus membuka pikiran atas segenap kemungkinan yang bermunculan, dan terus menumbuhkan semangat dialog, sharing untuk membuka wawasan dan sikap-skap kritis pada diri sendiri ataupun dunia seni rupa yang lebh luas. Maka dengan itu, menurut saya lebih baik Garis Cakrawala tetap dalam masa pancaroba terus menerus. Menjadi koma demi koma, sejenak menjadi tanda seru, dan jangan pernah menjadi titik!!:-)

Dokumentasi: Kami dan saudara kami dari IKJ Jakarta


Tidak ada komentar: